Sabtu, 03 Oktober 2009

Yang Unik dan Menarik di Jepang (bagi orang Indonesia)

Dalam pergaulan di Jepang, saya sering mendapat pertanyaan : apa yang berkesan selama anda di Jepang ? Jawaban yang paling mudah adalah “di Jepang serba praktis”. Tapi lama-lama jawaban ini membosankan, dan tidak membuka bahan ngobrol baru yang menarik. Saya coba renungkan beberapa hal yang dianggap wajar di Jepang, tapi bagi orang Indonesia terasa janggal, menarik, vice versa. Ternyata tidak mudah menemukannya. Mungkin karena saya sudah lama tinggal di Jepang, jadi yang unik dan menarik lewat begitu saja di depan hidung.
Di Jepang, angka “4″ dan “9″ tidak disukai, sehingga sering tidak ada nomer kamar “4″ dan “9″. “4″ dibaca “shi” yang sama bunyinya dengan yang berarti “mati”, sedang “9″ dibaca “ku”, yang sama bunyinya dengan yang berarti “kurushii/sengsara”
Orang Jepang menyukai angka “8″. Harga-harga barang kebanyakan berakhiran “8″. Susu misalnya 198 yen. Tapi karena aturan sekarang ini mengharuskan harga barang yang dicantumkan sudah harus memasukkan pajak, jadi mungkin kebiasaan ini akan hilang. (Pasar = Yaoya = tulisan kanjinya berbunyi happyaku-ya atau toko 800)
Kalau musim panas, drama di TV seringkali menampilkan hal-hal yang seram (hantu)
Drama detektif di TV, bunyi sirene (kyukyusha) biasanya muncul pada menit-menit awal. Di akhir cerita, sebelum perkelahian mati-matian biasanya penjahat selalu menceritakan semua rahasia kejahatannya.
Cara baca tulisan Jepang ada dua style : yang sama dengan buku berhuruf Roman alphabet huruf dibaca dari atas ke bawah, dan yang kedua adalah dari kolom paling kanan ke arah kiri. Sehingga bagian depan dan belakang buku berlawanan dengan buku Roman alphabet (halaman muka berada di “bagian belakang”).
Kita (orang Indonesia) dan rekan-rekan dari Asia Tenggara lainnya umumnya kalau jiko-shokai (memperkenalkan diri) sering memulai dengan “minasan, konnichiwa” atau “minasan, konbanwa”. Mungkin ini karena kebiasaan bahasa Indonesia untuk selalu memulai pidato dengan ucapan selamat malam, dsb. Tapi untuk pendengaran orang Jepang, rasanya janggal, karena mirip siaran berita di TV. Seharusnya dimulai dengan langsung menyebut nama dan afiliasi. Misalnya “Tanaka ken M1 no Anto desu….dst.”, tidak perlu dengan “Minasan..konnichiwa…”.
Kesulitan pertama yang muncul dalam urusan administratif di Jepang, kalau ditanya : “family name anda apa ? “, karena kita tidak ada keharusan di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara untuk mencantumkan family name.
Kalau kita memperoleh undangan yang meminta konfirmasi hadir atau tidak, biasanya kita harus mengirimkan balik kartu pos. Salah satu manner adalah mencoret huruf 御 pada pilihan : 御欠席 /出席. Juga mencoret akhiran 様 pada nama kita yang tercantum sebagai pengirim pada kartupos tersebut. Ini adalah adat Jepang, agar kita selalu rendah hati, yang ditunjukkan dengan menghindari/mencoret 御 dan 様 pada kartu pos balasan.
Kalau kita membubuhkan tanda tangan, kadang akan ditanya orang Jepang : ini bacanya bagaimana ? Kalau di Jepang saat diperlukan tanda tangan (misalnya di paspor, dsb.) umumnya menuliskan nama mereka dalam huruf Kanji, sehingga bisa terbaca dengan jelas. Sedangkan kita biasanya membuat singkatan atau coretan sedemikian hingga tidak bisa ditiru/dibaca oleh orang lain.
Acara TV di Jepang didominasi oleh masak memasak
Fotocopy di Jepang self-service, sedangkan di Indonesia di-service.
Jika naik taxi di Jepang, pintu dibuka dan ditutup oleh supir. Penumpang dilarang membuka dan menutupnya sendiri.
Tanda tangan di Jepang hampir tidak pernah berlaku untuk keperluan formal, melainkan harus memakai hanko/inkan/cap. Jenis hanko di Jepang ada beberapa, a.l. jitsu-in, ginko-in, dan mitome-in Jadi satu orang kadang memiliki beberapa jenis inkan, untuk berbagai keperluan. Jitsu-in adalah inkan yang dipakai untuk keperluan yang sangat penting, seperti beli rumah, beli mobil, untuk jadi guarantor, dsb. jenis ini diregisterkan ke shiyakusho. Ginko-in adalah jenis inkan yang dipakai untuk khusus membuat account di bank. inkan ini diregisterkan ke bank. Mitome-in dipakai untuk keperluan sehari-hari, dan tidak diregisterkan.
Naik sepeda tidak boleh boncengan (kecuali memboncengkan anak-anak)
Ajakan makan bersama belum tentu berarti anda ditraktir, tapi bisa jadi bayar sendiri-sendiri.
Di Jepang sulit mencari mesin ketik
Pernah nggak melihat cara orang Jepang menghitung “satu”, “dua”, “tiga”,…. dengan jari tangannya ? Kalau rekan-rekan perhatikan, ada perbedaan dengan kebiasaan orang Indonesia. Orang Indonesia umumnya mulai dari tangan dikepal dan saat menghitung “satu”, jari kelingking ditegakkan. Menghitung “dua”, jari manis ditegakkan, dst. Kalau orang Jepang, setahu saya, kebalikannya. Mereka selalu mulai dari telapak tangan terbuka, dan cara menghitungnya kebalikan orang Indonesia. Saat bilang “satu”, maka jarinya akan ditekuk/ditutupkan ke telapak tangan. Misalnya Nggak percaya ? Coba deh…jikken dengan teman Jepang anda.
Cara menulis angka : 7 (tujuh). Kebiasaan orang Indonesia selalu menambahkan coret kecil di kaki angka 7 (mirip huruf “NU” katakana : ヌ). Di Jepang selalu dididik menulis 7 persis seperti huruf ketik (tanpa coretan nya orang Indonesia), jadi mirip huruf katakana “FU” (フ) atau “WA” (ワ). Saat saya riset handwriting numeral recognition, saya lihat ratusan tulisan tangan orang Jepang tentang angka 7, dan tidak ada satu pun yang sama dengan yang “made in Indonesia”. Moral of the story : Hati-hati kalau menulis alamat, formulir atau dokumen lainnya di Jepang. Sedapat mungkin usahakan sama dengan standard Jepang. Kalau nggak, belum tentu dapat difahami oleh orang Jepang bahwa anda menulis angka “tujuh”.

Catatan Tambahan :
No.14 : sepeda tidak boleh dipakai boncengan, kecuali yang memboncengkannya berusia lebih dari 16 tahun dan anak yang diboncengkan berusia kurang dari satu tahun dan hanya seorang saja yang diboncengkan. Bila dilanggar, dendanya maksimal 20 ribu yen.

Minggu, 21 Juni 2009

Kejahatan seksual di Jepang bag 3

DISKUSI

Di dalam Jepang sendiri, peningkatan dramatis dari pornografi dan SEM tampak nyata bahkan bagi para pengamat sambil lalu. Ini sangat berkaitan dengan pelonggaran larangan-larangan terhadap outlet hasrat seksual lainnya. Juga terlihat dari informasi yang tersedia bahwa selama periode bersangkutan, kejahatan seksual dalam tiap kategori, mulai dari pemerkosaan hingga public indecency, mengalami penurunan terus menerus. 

Perubahan paling signifikan adalah walaupun terjadi perluasan akses pornografi pada anak-anak, baik angka pelaku maupun korban kejahatan seksual remaja mengalami penurunan secara signifikan. 

Temuan ini mirip dengan, walaupun lebih mengejutkan daripada, temuan-temuan di negara yang mengalami peningkatan SEM yang sama seperti Denmark, Swedia dan Jerman Barat. Temuan-temuan di Eropa, pada gilirannya, lebih dramatis dari temuan lain di Amerika Serikat. Kutchinski (1991) mengkaji situasi di Denmark, Swedia, Jerman Barat dan Amerika Serikat setelah legalisasi atau liberalisasi hukum pornografi di negara-negara tersebut. Tiga negara pertama yang disebutkan berturut-turut mende-kriminalisasi produksi dan distribusi SEM pada tahun 1969, 1973, dan 1973. Di Amerika Serikat tidak ada demkriminalisasi yang meluas ataupun legalisasi pornografi, namun, sama dengan di Jepang, interpretasi hukum-hukum pornografi sepertinya mengalami perubahan dan penindakan atas SEM mengalami penurunan yang tajam. Sama dengan Jepang, ketersediaan pornografi pun juga mengalami peningkatan yang serupa. Kutchinsky mengkaji kasus-kasus kejahatan seksual dalam periode 20 tahun dari 1964 ke 1984. Dengan demikian periode kajiannya tumpang tindih dengan setengah bagian pertama dari periode kajian ini. 

Kutchinsky menemukan (1991) bahwa di Denmark dan Swedia, angka pemerkosaan hanya mengalami sedikit peningkatan, dan di Jerman Barat tidak sama sekali. Di ketiga negara tersebut, angka kejahatan seks tanpa kekerasan mengalami penurunan. Kenaikan yang kecil di Denmark dan Swedia, diduga karena meningkatnya angka pelapor sebagai akibat semakin tingginya tingkat pehaman kaum perempuan dan petugas polisi tentang masalah pemerkosaan (Kutchinsky, 1985b, pp.323). Di Jepang juga, selama periode dua dekade dalam kajian ini, mungkin hal yang sama (peningkatan pemahaman tentang tindak pemerkosaan di kalangan perempuan dan kepolisian), sehingga membuat penurunan angka pemerkosaan di Jepang menjadi lebih impresif lagi. 

Serupa dengan temuan kami di Jepang, temuan di Denmark dan Jerman Barat menunjukkan bahwa penurunan kategori kejahatan seksual paling dramatis adalah pada kategori pemerkosaan. Selain itu angka kejahatan seksual dengan korban atau pelaku remaja juga mengalami penurunan drastis. Antara 1972 dengan 1980, angka total kejahatan seksual yang dicatat oleh pihak kepolisian Republik Federal Jerman (Jerman Barat) menurun hingga 11 persen, pada saat yang bersamaan angka kejahatan total yang dilaporkan meningkat hingga 50 persen. Kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur (di bawah usia 14 tahun) juga mengalami penurunan kecil sekitar 10 persen pada periode ini. Namun terjadi penurunan lebih dari 50 persen untuk korban di bawah usia 6 tahun, dari 1.421 kasus pada 1972 menjadi 579 kasus pada 1980 (Kutchinsky, 1985b; hal. 319). 

Peneliti lain menemukan hal yang serupa. Di Denmark kasus pelecehan homoseksual terhadap anak-anak menurun hingga lebih dari 50 persen dari 75 kasus pada 1966 menjadi 20 kasus di 1969 (Ben-Veniste, 1971; hal. 254). Penurunan kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak cukup penting untuk dicatat karena di Jepang, sebagaimana di Denmark, selama periode kajian tersebut, tidak ada hukum yang melarang kepemilikan atau penggunaan secara pribadi dan non komersial penggambaran anak-anak dalam aktivitas seksual; atau yang biasa disebut "childporn" (Kutchinsky, 1985a; hal. 5). Mengingat betapa pentingnya kejahatan seksual atas anak-anak dalam pandangan dua kebudayaan tersebut, penurunan angka kasus ini lebih mewakili pengurangan angka kejahatan seksual atas anak-anak secara riil daripada kurangnya kesiapan pelaporan atas kejahatan-kejahatan semacam itu. 

Terkait dengan peningkatan pornografi, kami juga menemukan penurunan angka kasus pemerkosaan massal di Jepang. Lagi-lagi, temuan-temuan serupa juga dilaporkan di tempat lain. Di Jerman Barat, dari tahun 1971 hingga 1987, angka kasus pemerkosaan kelompok menurun 59% dari 577 kasus hingga 239 kasus. Terbalik dengan Jerman dimana angka pemerkosaan oleh orang asing menurun sebesar 33% dari 2.453 kasus menjadi 1.655 kasus (Kutchinsky, 1991; hal. 57), di Jepang angka pemerkosaan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengenal korban menurun, dan angka pemerkosaan oleh orang asing meningkat. Karena lebih besar kemungkinan pemerkosaaan oleh orang asing atau kelompok akan di laporkan daripada melaporkan pemerkosaan dalam pernikahan atau dalam kencan, temuan-temuan tersebut merepresentasikan perubahaan yang riil. Penting untuk dicatat juga bahwa polisi Jepang sangat menfokuskan diri pada upaya pencegahan pemerkosaan oleh orang asing daripada pemerkosaan dalam kencan atau oleh orang yang dikenal. 

Beberapa orang menganggap (misal: Court, 1977) bahwa berkurangnya angka kejahatan seksual yang tercatat di Jepang merefleksikan perubahan pandangan publik tentang seks yang senada dengan meningkatnya ketersediaan pornografi di masyarakat. Pandangan ini masih diragukan. Mungkin pandangan ini berlaku untuk kasus-kasus pelanggaran seksual kecil seperti public indecency, namun pemerkosaaan selalu menjadi masalah yang serius. Dapat dikatakan juga bahwa rasa enggan untuk melaporkan kasus pemerkosaan telah berkurang. Bisa juga disimpulkan bahwa semakin meningkatnya jumlah SEM membuat jauh lebih mudah bagi anak-anak atau perempuan atau mereka yang rentan menjadi korban kejahatan seksual dalam membicarakan masalah-masalah seksual pada orang tua mereka, partner, ataupun pihak berwajib, terlebih lagi mengenai tindak pelanggaran seksual. 

Faktor lain yang mendorong korban untuk melapor adalah dibentuknya unit kepolisian khusus untuk penyelidikan kasus pemerkosaan pada bulan September 1983. Unit ini sensitif pada permasalahan perempuan dan juga membuat kaum perempuan tidak lagi diperlakukan seolah-olah sebagai pihak yang bersalah. Perlakuan buruk terhadap perempuan yang diperkosa sering terjadi pada tahun 70an. Juga perubahan yang signifikan adalah bahwa Jepang, pada tahun 90an., mendirikan sebuah pusat pengaduan pemerkosaan dan layanan korban di Tokyo. Selain itu pusat-pusat perempuan juga didirikan di kota-kota besar di seluruh negeri. Pada tahun 1996, kepolisian memulai kampanye public untuk meningkatkan pemahaman publik untuk mendorong para korban kejahatan seksual agar maju ke depan dan melapor. Para pendidik seks perlu mendapatkan kredit juga atas hal ini. Pendidikan seks, K-12, telah menjadi standar dalam kurikulum di sekolah-sekolah Jepang sejak tahun 1970an. Para pendidik seks juga semakin banyak mempelajari teori pemerkosaan, pencegahan, dan pelaporan, dan membawa materi-materi tersebut ke dalam presentasi di kelas mereka. 

Umumnya diterima bahwa aplikasi hukum yang berlaku atau kekuatan-kekuatan sosial yang bermain tidak konsisten dari masa ke masa. Namun, kelemahan-kelemahan jangka pendek dalam hal pencarian, pengumpulan dan pencatatan data tidak mempengaruh trend secara keseluruhan. Walaupun demikian aman untuk dikatakan bahwa dalam masa yang cukup lama, interpretasi definisi 'kepatutan' telah melonggar yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya material yang dianggap dapat diterima dan memasuki ruang publik, sementara pada saat yang bersamaan penegakan hukum terkait tindak pemerkosaan dan pelanggaran seksual justru malah semakin tegas. Saat ini 'ijin' masyarakat terhadap kejahatan seksual semakin sedikit diberikan daripada 25 tahun yang lalu. Dan tentu saja, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa berkurangnya angka pembunuhan dan kekerasa non-seksual disebabkan keenggenan untuk melaporkan kasus-kasus semacam itu yang sebanding dengan semakin meningkatnya SEM. 

Pernah ada yang berkata bahwa "Pornografi secara historis telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jepang" (Abramson & Hayashi, 1984). Sebenarnya jauh lebih tepat mengatakan bahwa tema-tema erotik dan kesuburan telah menjadi bagian tradisional dari kebudayaan Jepang. Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta kesenian, secara sugestif dan implisit, telah memasukkan ikon-ikon dan representasi seksual tanpa malu-malu dan tanpa merasa berdosa. Di Barat, perasaan berdosa seringkali diasosiasikan dengan seks. Secara tradisional, pandangan Jepang yang seperti ini sesuai dengan tema-tema atau budaya konfusian yang mengusulkan memperkuat solidaritas keluarga dengan beranak-pinak, pentingnya untuk memberikan pendidikan seks yang layak pada anak, serta sebagai cara untuk menikmati "kehidupan yang baik". 

Pandangan ini umumnya tetap bertahan di kalangan masyarakat Jepang bahkan setelah modernisasi Jepang yang dimulai tahun 1868 melalui Restorasi Meiji. Pemerintahan di era Meiji, dalam rangka mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Barat, mulai merubah pandangan Jepang terhadap seks dengan mengadopsi nilai-nilai Barat yang lebih penuh aturan dan konservatif. Sebagai contoh, pemandian umum campur yang sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum dilarang untuk diteruskan oleh pemerintah (Dore, 1958). Peraturan ini sebenarnya diterapkan terutama di kota-kota besar, sementara di luar itu penegakannya dilakukan secara acak. Namun, ini hanyalah baian kecil dari rencana pemerintahan Meiji yang disebut wakon-yoosai (semangat Jepang dan teknologi Barat); yaitu sebuah rencana untuk mengembangkan dan memperkuat bangsa dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi barat dengan semangat dan budaya Jepang (Hijirida & Yoshikawa, 1987). 

Selama Perang Dunia II banyak pembatasan seksual yang dilonggarkan di Jepang sebagaimana halnya yang terjadi di Barat. Setelah perang, pasukan Amerika Serikat yang mengokupasi Jepang menerapkan pandangan barat tentang moralitas dan hukum. Masyarakat Jepang secara perlahan-lahan mengadopsi beberapa ide dan praktik tersebut. Pandangan wakon-yoosai mengemuka kembali (Hijirida & Yoshikawa, 1987). Ide-ide negatif tentang pornografi, yang sebelumnya asing bagi kebudayaan Jepang, diterima dan diterapkan terutama pada penggambaran visual karena benda-benda tersebutlah yang paling mungkin dikenali dan dikritik oleh orang Barat. Sedikit perhatian diberikan pada SEM yang tertulis karena orang asing kemungkionan besar tidak bisa membaca huruf Jepang dan oleh sebab itu tidak bisa menyadari dan mengkritik materi-materi semacam itu (Abramson & Hayashi, 1984). Hal-hal terkait seks lainnya yang bisa dilihat langsung umumnya cenderung sesuai dengan cara-cara Barat. Pelacuran, yang sebelumnya legal dan diterima umum, misalnya, dijadikan illegal pada tahun 1958, dan toilet serta kamar mandi publik yang terpisah dibangun untuk menggantikan fasilitas-fasilitas sebelumnya yang bersifat unisex. Yang menarik, walaupun larangan penggambaran visual yang bersifat erotik semakin lama semakin ketat, pornografi tertulis semakin lama semakin menjamur, dengan nada yang semakin bersifat risque (v) dan fetish (vi). Beberapa orang memandang ini sebagai reaksi perlawanan atas kekangan nilai-nilai feudal konfusianisme dan moralitas Barat (Kuro, 1954). Inilah hukum dan situasi yang ada pada tahun 1972, periode awal dari kajian kami. 

Pada tahun-tahun selanjutnya, kuantitas SEM meningkat.Awalnya peningkatan terjadi secara bertahap dan kemudian di akhir 80an dan memasuki 90an, peningkatan terjadi secara pesat. Tahun 90 dan 91 tampaknya menjadi penanda peningkatan ini. Terjadi perubahan besar dalam hal bagaimana pornografi diproduksi dan bagaimana hukum tentang obscenity diinterpretasikan. Semakin sedikit material yang diduga sebagai obscene dan lebih sedikit lagi hukuman yang dijatuhkan. Sekali lagi, ini sama dengan berbagai temuan di tempat lain. Di Denmark, penghapusan larangan untuk tulisan-tulisan pornografi pada 1967 adalah konsekuensi dari tindakan sejumlah penerbit yang memproduksi dan mendistribusikan materi pornografi ke pasar yang sudah menunggu, serta dari keputusan-keputusan pengadilan yang semakin lama semakin permisif (Kutchinsky, 1973b). Di Jepang, produksi SEM yang bertambah dan pelonggaran hukum sepertinya terjadi secara bersamaan, tanpa bisa ditentukan mana yang menjadi penyebab lebih dahulu. 

Jenis pornografi yang terdapat di Jepang juga sepertinya memenuhi berbagai jenis selera dan keinginan. SEM yang diproduksi memenuhi berbagai selera dan fetish yang ada, dan umumnya lebih agresif dan lebih sarat kekerasan daripada pornografi yang ada di Amerika Serikat. Selain itu jarang ada pembatasan usia dalam pembelian atau kepemilikan material-material semacam ini. Situasi ini pada dasarnya serupa dengan situasi di Denmark (Kutchinsky, 1978). Kutchinsky lebih jauh menemukan bahwa SEM yang ada semakin lama semakin berorientasi fetish dan agresif, material-material tersebut mungkin tidak banyak digunakan. Materi-materi tersebut tetap menjadi bagian terkecil dari keseluruhan pornografi yang ada. Di Denmark, Kutchinsky (1978, hal. 114) memperkirakan material-material hardcore sadomasochistic dan semacamnya, hanyalah 2% dari keseluruhan pornografi yang bisa didapat. Winick (1985) memperkirakan proporsi yang sama untuk Amerika Serikat. Gigli (1985) berargumen bahwa data Kutchinsky mungkin tidak bersikap aplikatif karena adanya perbedaan-perbedaan yang memungkinkan pornografi dengan kekerasan menjadi menjamur. Kami tidak melakukan analisa mendetail mengenai material pornografi dengan konten sadomasokhis dan kekerasan di Jepang, namun tampaknya proporsi material tersebut lebih tinggi di Jepang daripada di Amerika Serikat ataupun tempat-tempat lainnya

Kutchinsky (1973a), dalam kajian-kajiannya, menemukan bahwa angka kasus kejahatan seksual yang tidak terlalu serius adalah yang paling menurun, sedangkan angka kasus pemerkosaan yang turun paling sedikit. Kami menemukan hal yang sebaliknya di Jepang. Di Jepang, pemerkosaan turun hingga 79% sedangkan public indecency hanya turun hingga 33%. Alasan perbedaan ini masih belum jelas. Kami duga ini disebabkan elemen compulsivity (elemen 'kegilaan) yang biasanya diasosiasikan dengan pelanggaran hukum public indencecy lebih sulit dimodifikasi daripada dalam hukum pemerkosaan. Mungkin juga, angka kasus pengintipan atau flashing memang sudah kecil dari awal sehingga penurunannya pun menjadi kecil secara persentase. Rasa malu adalah kekuatan sosial yang kuat di Jepang dan bisa menjadi faktor yang sangat penting dalam mengendalikan angka kasus public indecency. 

Temuan kami mengenai kejahatan seksual, pembunuhan dan penyerangan fisik sangat sesuai dengan apa yang diketahui mengenai angka kejahatan di Jepang terkait perampokan, pencurian dan hal-hal lain yang sejenis. Jepang juga memiliki angka pelaporan terkecil untuk kasus pemerkosaan dan persentase tertinggi untuk penangkapan dan penghukuman di antara negara-negara maju. Jepang juga diketahui sebagai negara maju paling aman untuk perempuan (Clifford, 1980). Walaupun demikian, kritikus social dan kaum feminis di Jepang berpendapat bahwa kondisi masih bisa lebih baik lagi (Radin, 1996). Banyak pejuang hak perempuan berpendapat bahwa petugas kepolisian perlu lebih responsif terhadap masalah-masalah perempuan dan kaum perempuan sendiri perlu lebih berani untuk menyampaikan keluhan mereka. Namun sebenarnya, kritik ini bisa berlaku di mana saja. 

Walaupun tidak ada bukti kuat yang mendukungnya, ada mitos yang dipercaya secara meluas bahwa semakin banyak SEM akan secara otomatis menyebabkan semakin banyak aktivitas seksual serta (pada akhirnya) semakin banyak pemerkosaan (lihat Liebert, Neale, & Davison, 1973). Sebenarnya, data yang kami terima dan ulas menunjukkan hal yang sebaliknya. Christensen (1990) berpendapat bahwa dalam rangka membuktikan pornografi dapat menyebabkan kejahatan seksual, orang mesti menemukan hubungan temporal yang positif di antara kedua hal tersebut. Ketiadaan hubungan positif antara pornografi dengan kejahatan seksual dalam temuan-temuan kami, serta dalam temuan-temuan oleh orang lain, adalah bukti prima facie (utama) bahwa hubungan tersebut memang tidak ada. Namun, demi objektivitas satu pertanyaan lagi perlu diajukan: "apakah ketersediaan dan penggunaan pornografi mencegah atau mengurangi kejahatan seksual?" Kedua pertanyaan mengenai hubungan antara pornografi dan kejahatan seksual akan menghasilkan rangkaian hipotesis yang, dalam periode cukup lama, telah diuji di Denmark, Swedia, Jerman Barat dan di Jepang. Jelas dari data yang kami dapatkan tentang Jepang, sebagaimana yang ditemukan juga oleh Kutchinsky (1994) dari penelitian yang dilakukan di Eropa dan Skandinavia, bahwa peningkatan tajam SEM, selama tahun dalam kajian, tidak memiliki hubungan dengan peningkatan di angka pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya. Sebaliknya, di Jepang penurunan yang tajam justru terjadi. 

Pada umumnya dapat diterima bahwa pornografi dapat merangsang sejumlah orang secara seksual. Ada hal-hal yang menunjukkan bahwa pornografi menghasilkan ekspresi seksual yang legal, namun belum ada yang mengukur seberapa besar peningkatan yang terjadi pada aktivitas semacam itu. Pasangan suami istri mungkin saja meningkatkan frekuensi bercinta mereka, seniman mungkin saja menciptakan karya seni baru, banyak pihak yang dapat menggunakan pornografi untuk pendidikan seks, dan tidak sedikit yang menggunakan materi tersebut untuk dibaca atau untuk kesenangan melihat dan masturbasi. Semua aktivitas tersebut positif, legal dan juga membangun, atau paling tidak semuanya itu adalah outlet social yang bersifat nondestruktif. Di Jepang, sebagaimana di tempat lainnya, penerbit dan sejenisnya menyatakan bahwa kisah-kisah erotik, bahkan dalam komik, merupakan tempat pelarian diri sementara bagi orang dewasa yang merasa tercekik di tengah-tengah 'masyarakat terkontol' Jepang (Burril, 1991). 

Belum ada kajian populasi yang menunjukkan hubungan antara pornografi dengan kejahatan seksual. Ada memang laporan-laporan penelitian yang menunjukkan hubungan tersebut. Satu laporan penelitian, misalnya, menyatakan: "Retrospective recall (vi) adalah basis untuk memperkirakaan penggunaaan SEM oleh para pelaku kejahatan seksual dan non-pelaku selama masa puber, dan juga pada masa kini.. Pemerkosa dan para pelaku pelecehan seksual anak dilaporkan sering menggunakan materi-materi tersebut secara . Penggunaan materi tersebut sekarang ini sangat terkait dengan tingkat keparahan pelanggaran seksual yang mereka lakukan . (Marshall, 1988)" Namun, bukti-bukti yang disajikan dalam laporan ini, apabila dikaji lebih teliti, menunjukkan bahwa pornografi yang digunakan oleh pelaku kejahatan seksual dewasa dilihat sebelum pelanggaran itu mereka lakukan. Tidak dinyatakan secara eksplisit namun implisit dalam kajian Marshal adalah bukti bahwa pornografi umumnya tidak ada dari pengalaman sang pelaku pada masa-masa formatif mereka. 

Hal ini penting untuk dipertimbangkan. Cukup sering ditemukan, utamanya pada tahun 1960an sebelum melimpahnya SEM di Amerika Serikat, pelaku kejahatan seksual adalah mereka dengna latar belakang yang tidak terpapar pada SEM; mereka umumnya memiliki latar belakang keagamaan yang kuat dan paham social politik dapat dikategorikan sebagai paham konservatif (Gebhard, Gagnon, Pomeroy & Christenson, 1965). Sejak itu, kebanyakan peneliti menemukan hal yang serupa. Pendidikan yang diterima oleh para pelaku kejahatan seksual umumnya merepresi hasrat seksual (sexually repressive), seringkali latar belakang keagamaan mereka sangat kuat dan mereka juga memiliki pandangan yang konservatif dan kaku tentang seksualitas (Conyers & Harvey, 1996; Dougher, 1988); mereka biasanya dibesarkan dengan pendidikan ritual-moralistik serta menganut sikap yang konservatif daripada permisif. Selama masa remaja hingga memasuki masa dewasa, para pelaku kejahatan seksual umumnya tidak menggunakan materi pornografi atau erotis lebih banyak daripada orang-orang lain dan umumnya malah lebih sedikit (Goldstein & Kan, 1973, Propper, 1973). Walker (1970) melaporkan bahwa para pelaku kejahatan seksual rata-rata lebih tua beberapa tahun dari para non-kriminal pada saat melihat gambar hubungan seksual untuk pertama kalinya. 

Kebanyakan orang dari kalangan yang menangani para pemerkosa berpendapat bahwa pemerkosaan sebenarnya adalah sebuah kegiatan seksual untuk masalah-masalah non-seksual, misalnya sebuah kekalahan atau rasa frustasi yang dialami di tmpat kerja bisa menjadi pendorong untuk melakukan pemerkosaan (Groth, 1979). Orang lain melihat bahwa pemerkosaan adalah ekspresi kekuasaan (Groth, Burgess dan Holstrom, 1977). Goldstein dan Kant menyimpulkan bahwa 'sedikit sekali' pelaku kejahatan seksual yang mereka wawancarai yang mendapatkan pengaruh cukup besar dari pornografi. "Stimulus yang jauh lebih kuat" bagi para pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang nyata di lingkungan mereka (Goldstein & Kan, 1973; Lynn, 1986). Ahli dari Denmark, termasuk para kriminolog feminis yang mempelajari pemerkosaan di Denmark, jug sepakat bahwa tidak ada hubungan antara pornografi dan pemerkosaan (Kutchinsky, 1985a, hal. 12). 

Nicholas Groth, seorang spesialis untuk perawatan bagi para pelaku kejahatan seksual, pernah menulis "tindak pemerkosaan seringkali dianggap disebabkan oleh semakin banyaknya materi pornografi yang beredar serta keterbukaan seksual di media-media publik. Namun sebenarnya, walaupun para pemerkosa, sebagaimana halnya orang lain, mungkin terangsang oleh beberapa jenis pornografi, bukanlah hasrat seksual yang mendorong terjadinya pemerkosaan melainkan hasrat kemarahan dan ketakutan. Pornografi tidaklah menyebabkan pemerkosaan; melarang pornografi tidak akan menghentikan pemerkosaan. Bahkan, beberapa kajian telah menunjukkan bahwa para pemerkosa umumnya terekspos lebih sedikit pada pornografi dari laki-laki lain pada umumnya (Groth, 1979, hal. 9)." 

Wilson (1978, hal. 175) menemukan bahwa "kaum pria yang mengembangkan perilaku seksual yang menyimpang saat dewasa adalah mereka yang secara relatif kurang mendapatkan pengalaman berkaitan dengan pornografi pada masa remajanya." Dia mengajukan pandangan bahwa pornografi bukan hanya berpotensi, tapi memang membantu mencegah masalah kejahatan seksual (hal 176). Wilson mengklaim bahwa keterpaparan terhadap SEM dapat memberikan keuntungan terapatis dan, di antara pasangan, dapat membantu komunikasi yang lebih lancar dan keterbukaan dalam membahas masalah-masalah seksual serta memberiakn pendidikan seksual. Ekspose terhadap pornografi juga membantu menyediakan anxiety and inhibition-relievin g function. 39 persen terhukum yang dikaji oleh Walker (1970) sepakat bahwa pornografi 'menyediakan . pengaman untuk kecenderungan- kecenderungan antisocial." 

Penjelasan-penjelas an lain telah ditawarkan untuk menjelaskan penurunan dan kecilnya angka kejahatan seksual di Jepang. Abramson dan Hayashi (1984) mengatakan bahwa kecilnya angka pemerkosaan di Jepang disebabkan sebagian karena pengendalian internal yang dianggap sebagai bagian dari karakter nasional bangsa Jepang yang ditimbulkan oleh masyarakatnya yang ketat. Kalaupun pendapat ini benar, sulit membayangkan bahwa pengendalian semacam ini jauh lebih kuat di periode 90an daripada di lingkungan konservatif pada decade 70an. Kutchinsky (1973b) memberikan kredit atas pengurangan kejahatan yang terkait dengan semakin tingginya ketersediaan SEM di Eropa dan Skandinavia kepada "kebanyakan populasi menjadi familiar dengan literatur pornografi: namun titik jenuh dengan cepat tercapai, terutama karena ketertarikan tersebut lebih dikarenakan oleh rasa ingin tahu daripada kebutuhan yang benar-benar. " Kami percaya pandangan ini adalah sebagian jawabannya. 

Faktor penyebab lain mungkin juga terlibat. Sebagai contoh, selama periode dalam kajin, 1972 hingga 1995, setara dengan pengurangan angka kejahatan seksual laki-laki adalah peningkatan kesediaan perempuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Sebagai tambahan dari perempuan sebagai partner seksual yang didapatkan melalui prostitusi dan juga melalui outlet seks komersial, para 'gadis sebelah rumah' saat ini lebih siap untuk menerima ajakan melakukan aktifitas seksual di luar nikah. Sesuatu yang dua atau tiga dekade lalu tidak begitu umum terjadi (Uchiyama, 1996). 

Banyak percobaan laboratorium dilakukan untuk membuktikan pengaruh sosial pornografi yang negatif. Berbagai hasil dari percobaan-percobaan yang berbeda-beda diharapkan mampu memperlihatkan bahwa eksposur terhadap pornografi, terutama yang memiliki muatan kekerasan, dapat menyebabkan degradasi martabat kaum perempuan, pelecehan pemerkosaan dan meningkatnya agresi dan pembiaran tindakan kekerasan atas perempuan (untuk lebih jelas lihat Malamuth & Donnerstein, 1984, dan Zillman & Bryant, 1989). 

Percobaan di laboratorium sulit untuk dibandingkan dengan situasi di dunia nyata dan mungkin juga tidak relevan. Umumnya percobaan laboratorium memaparkan mahasiswa-mahasiswa ke berbagai jenis pornografi dengan durasi yang berbeda-beda dan mencoba untuk mengukur tindak-tanduk mereka setelah itu. Hal lain yang juga penting adalah bahwa dalam percobaan semacam itu situasi yang dialami para subjek percobaan seringkali dimanipulasi sehingga para mahasiswa tersebut terjebak dalam situasi-stiuasi yang menyalahi rancangan awal penelitian (lihat Donnerstein, 1984, Donnerstein & Barret, 1978; Zilmann, 1984; Zillman & Bryant, 1982; 1984; Zilmann % Weaver, 1989). Studi-studi ini terus mendapatkan kritik-kritik yang serius (lihat Branningan, 1987; Brannigan & Goldenberg, 1986, 1991; Christensen, 1990; Becker & Stein, 1991) karena cacat secara metodologis dan tidak cukup layak untuk penerapan praktis. Seringkali temuan-temuan itu pun tidak konsisten. Sebagai contoh, Zillman dan Bryant (1984; 1988a, 1988b) melaporkan bahwa hasil temuan mereka menunjukkan bahwa eksposur terhadap jumlah besar pornografi mengurangi keinginan para subjek mahasiswa untuk bertindak agresif terhadap satu sama lain setelah stimulasi erotis diberikan (kemungkinan efek positif) , namun bisa menyebabkan peremehan makna pemerkosaan, mengurangi tingkat kepuasan seksual dengan partner saat itu, dan mengurangi makna 'nilai-nilai kekeluargaan' (kemungkinan efek negatif). Dan bahkan para penguji coba di area penelitian ruang kelas ini telah mengkritik bagaimana data diambil untuk digunakan dalam pengadilan (lihat Linz, Penrod &Donnerstein, 1987). Eksperimen laboratorium umumnya tidak mempertimbangkan konteks social dan factor-faktor social dan situasional lainnya. 

Hasil temuan kami tentang Jepang, dan temuan Kutchinsky tentang Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Swedia, diambil dari populasi yang besar dan beragam yang telah terekspos pada SEM selama bertahun-tahun. Materi-materi ini bisa dipilih untuk digunakan atau tidak digunakan ataupun dimodifikasi sesuai dengan selera penontonnya. Tidak ada satu orang pun (di negara-negara tersebut) yang diwajibkan untuk melihat material-material yang dia anggap menjijikkan dan di lain pihak siapa pun diperbolehkan untuk mengeksploitasi material ataupun kesempatan yang ada. Setiap orang dalam dunia nyata bisa menggunakan materi-materi tersebut secara sendirian atau dengan orang lain (missal, dengan pasangan). Dalam kehidupan nyata, orang dapat memilih untuk mengalami pornografi selama beberapa menit atau jam, satu sesi, atau selama bertahun-tahun. Di dunia nyata, individual-individu al bebas untuk memenuhi berbagai jenis hasrat seksual dalam cara-cara yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh para siswa dalam situasi dalam ruang kelas. 

Kutchinsky (1983, 1987, 1992, 1994), telah mendiskusikan keunggulan relative dari kajian laboratorium dibandingkan dengan kajian peristiwa di luar laboratiru. Pada pokoknya Kutchinsky percaya bahwa pornografi di dunia nyata, menawarkan substitusi bagi rasa frustasi bersifat seksual atau pun non seksual yang mungkin, dalam situasi lain, dapat mendorong terjadinya kejahatan sksual (Kutchinsky, 1973a, hal. 175). "Jika ketersediaan pornografi dapat mengurangi angka kejahatan seksual, hal itu disebabkan beberapa bentuk pornografi bagi beberapa orang yang berpotensial menjadi penjahat seksual, secara fungsional setara dengan kejahatan seksual yang mungkin akan dilakukan tersebut: keduanya (pornografi dan kejahatan seksual) dapat memenuhi kebutuhan orang bersangkutan. Jika para pelaku potensial ini punya pilihan, mereka akan memilih menggunakan pornografi karena lebih nyaman, tidak merugikan dan tidak bebahaya." (hal. 21). Ini juga kami anggap baru sebagian jawaban dari masalah. 
Faktor-faktor social apa lagi, selain meningkatnya pornografi, yang mungkin bisa menjelaskan turunnya angka kejahatan di Jepang? Dan jika pornografi tidak mendorong pemerkosaan ataupun kejahatan seksual lainnya, apa yang bisa mendorong terjadinya hal tersebut? Jelas sekali bahwa ini adalah pertanyaan multifaceted yang rumit. Sebagai tanggapan, kita sepakat dengan banyak pihak (misal, Brannigan. 1997; Fisher & barak, 1991, Gottfredson & hirschi, 1990) bahwa kejahatan secara umum bukanlah sekedar masalah "monyet lihat - monyet lakukan." Sebagaimana halnya dengan kejahatan lain, kejahatan seksual umumnya disebabkan karena ada kesempatan, pelakunya tidak berpikir atau sedikit berpikir dan umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kontrol diri dan sosial yang rendah. Orang-orang semacam itu seringkali dapat terindentifikasi sebelum terekspos pada SEM secara substansial. Lebih dari setengah pelanggar seks dewasa diketahui juga sebagai pelanggar seks pada masa remaja (Abel, 1985; Knopp, 1984). Sebagaimana Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan: ". salah satu penyebab tindak kejahatan yaitu kurangnya kemampuan pengendalian diri, dapat ditemukan pada 6 hingga 8 tahun pertama kehidupan, yaitu pada masa ketika sang anak berada dalam control dan pengawasan keluarga atau institusi keluarga. kebijakan yang ditujukan pada penguatan kemampuan institusi keluarga untuk sosialisasi anak-anak adalah kebijakan jangka panjang yang realistic yang berpotensial untuk mengurangi angka kejahatan secara substansial (hal. 272-373). 

Semakin tingginya tingkat persaingan dunia pendidikan dan kerja di Jepang selama dua dekade terakhir telah memaksa orang untuk memberikan lebih banyak waktu untuk prestasi di dalam sekolah, mulai dari masa pra-sekolah dan berlanjut terus hingga masa kuliah; pekerjaan rumah yang dan pelajaran tambahan di luar sekolah (jukyu) adalah hal yang biasa (Efrom, 1997). Dan ibu-ibu rumah tanga di Jepang umumnya tinggal di rumah untuk megnawasi anak mereka melalui sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dengan baik. Kami percaya bahwa ini membantu mengurangi terjadinya tindakan-tindakan anti sosial atau kriminal, serta membantu sosialisasi anak untuk menghidari perilaku kriminal sebagai orang dewasa nantinya. 

Ellis (1989) menanggap kejahatan seksual disebabkan dorongan dari dalam untuk ekspresi seksual ditambah dengan keinginan untuk memiliki dan mengendalikan. Dorongan-dorongan ini pada anak dapat dimodifikasi dengan peningkatan masa-masa bersama keluarga sejak usia dini.Selain itu juga, kami percaya, pendidikan seksual standar Jepang K-12 juga dapat membantu untuk mengurangi hal ini. Oleh karena itu, kekuatan-kekuatan social yang positif dan profaktif mungkin adalah penyebabb berkurangnya angka kejahatan yang terlihat. Faktor-faktor lain yang mungkin menyebabkan perubahan angka kejahatan seksual di Jepang atau tempat lainnya masih belum ditentukan. 

Pertanyaan lanjutan masih muncul lagi: apakah ada efek negative lain yang mungkin disebabkan pornografi selain kejahatan seksual? Kaum feminis, orang-orang religius konservatif, dan para moralis menganggap pornografi sebagai sebuah masalah bahkan walaupun sulit dibuktikan bahwa pornografi menyebabkan meningkatnya angka kejahatan seksual (lihat misalnya, Court, 1984; Osanka & Lee, 1985). Beberapa melihat pornografi sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan. "Pertanyaannya bukanlah: apakah pornografi menyebabkan kekerasan terhadap perempuan? Pornografi adalah kekerasan terhadap perempuan, kekerasan yang menebus dan mengacaukan setiap aspek dari kebudayan kita (Dworkin, 1981, sampul buku)." Dan Steinham (1983) menulis: "pornografi adalah tentang kekuasaan dan sex sebagai senjata - dalam hal yang sama kita memahami bahwa pemerkosaan adalah kekerasan, dan sama sekali bukan tentang seksualitas (hal. 38)." MacKinner (1993) bahkan berpikir bahwa pornografi tertulis sebagai membahayakan dan merendahkan perempuan. 

Memang ada sejumlah anecdotal reports dampak negative pornografi, selain kejahatan seksual. Dampak-dampak ini bermacam-macam mulai dari kekerasan domestic (lihat Sommers & Check, 1987), hingga pelecehan seksual pada anak (lihat Burgess & Hartman, 1987). Namun tidak ada bukti keras yang menunjukkan hubungan sebab akibat terhadap kejahatan-kejahatan yang demikian parah dan sangat patut disesali (Howitt & Cumberbatch, 1985). Tindakan-tindakan criminal dan anti-sosial ini, kami percaya, lebih disebabkan karena bimbingan orang tua yang buruk, pendidikan yang tidak memadai dengan buruknya kontrol diri dan social, seperti yang telah disebutkan di atas. 

Kemungkinan efek buruk pornografi adalah seperti yang diulas oleh Howitt dan Cumberbatch (1985); efek negative pornografi pada pria. Mereka mengulas laporan tentang pria yang mengalami impotensi karena 'kegelisahan akan penampilan' (performance anxiety), sebagai akibat kekhawatiran tidak mampu menandingi kaum pria yang begitu perkasa, besar dan terampil yang terlihat di pornografi (lihat MOye, 1985; Fracher & Kimmel, 1987; Tieter, 1987). Howitt dan Cumberbatch menyimpulkan bahwa factor-faktor yang menyebabkan impotensi dan performance anxiety mungkin tidak punya kaitan dengan pornografi dan masih perlu dikaji lebih lanjut. 

Kesimpulannya, kekhawatiran bahwa negara-negara yang membolehkan pornografi akan mengalami peningkatan angka kejahatan seksual karena tindakan peniruan, atau bahwa kaum remaja pada khususnya akan rentan secara negative dan reseptif terhadap apa yang ditunjukkan dalam pornografi atau bahwa masyarakat secara keseluruhan akan terpengaruh secara negative oleh pornografi, tidak terbukti betul. Jelas terlihat dari data yang kami kumpulkan dan analisa bahwa peningkatan besar materi pornografi di Jepang memiliki kaitan dengan penurunan dramatis angka kejahatan seksual dan utamanya penurunan angka remaja yang terlibat dalam kejahatan seksual, baik sebagai pelaku atau sebagai korban. Kami juga telah menyinggung sejumlah factor-faktor yang mungkin menjadi penyebab hal ini di atas.

Kejahatan seksual di Jepang bag 2

Jepang tidak menggunakan sistem juri dalam peradilannya. Keputusan terakhir material mana atau tindakan apa yang dapat dikategorikan sebagai kriminal umumnya ditentukan oleh sebuah panel yang terdiri dari tiga hakim. Di Jepang, hukum berlaku secara nasional, namun seringkali diinterpretasikan secara regional; hakim-hakim di daerah perkotaan umumnya lebih kendur dalam masalah pornografi daripada hakim yang berada di daerah pedesaan. Sebagai upaya penyeragaman hukum, kurang lebih setiap tiga tahun sekali para hakim dirotasikan ke prefektur-prefektur yang berbeda. Sebagaimana di negara-negara lain, pengambilan keputusan tentang sebuah tindakan kriminal pertama-tama dilakukan di tingkat paling bawah, misalnya oleh polisi lokal atau oleh agen-agen lainnya. Demikian pula halnya dengan materi yang bersifat obscene ini. Materi yang diduga sebagai obscene biasanya akan disita terlebih dahulu dengan asumsi bahwa penetapan status obscenenya akan dilakukan belakangan. 

Hukum Jepang mengenali 6 jenis kejahatan seksual (Roposensho, 1989). Kejahatan-kejahatan ini adalah sebagai berikut: 1) Public indecency (tindakan tidak patut di depan publik) [pasal 174], yang merujuk pada perilaku yang menunjukkan alat kelamin di depan publik; kejadian-kejadian yang 'melanggar batas moralitas publik.' Saat ini, pasal ini sering digunakan terhadap bioskop-bioskop porno yang oleh pihak berwajib dianggap sering mencoba menguji batas-batas kesopanan Selain itu, pasal ini juga digunakan untuk perilaku-perilaku seperti flashing (iii) dan mengintip. 2) 'Ketidakpantasan' [Pasal 175] adalah tindakan atau materi erotis-seksual yang persiapannya, pendistribusian, dan penjualannya dapat menyebabkan 'hilangnya atau runtuhnya akal sehat" orang. 3) Serangan Seksual [Pasal 176] didefinisikan sebagai ancaman atau pemaksaan untuk peristiwa seksual yang setingkat dibawah pemerkosaan. 4) Pemerkosaan [Pasal 177] adalah penetrasi, betapa pun sedikitnya, alat kelamin wanita oleh alat kelamin perempuan. Tidak ada pasal yang menjelaskan tentang pemerkosaan terhadap laki-laki. 5) Constructive Compulsory Indecency and Rape (Pasal 178) adalah tentang pelanggaran hukum dimana seorang individual dianggap melakukan pemerkosaan oleh keputusan hukum (statutory offense) karena korbannya, sebagai akibat keterbatasan mental atau fisiknya, dianggap tidak bisa memberikan persetujuan yang sepatutnya. Dalam kasus seperti ini, korban bisa laki-laki atau perempuan. 6) Percobaan serangan seksual, percobaan pemerkosaan, atau percobaan statutory rape [pasal 179] diterapkan pada percobaan serangan seksual atau pemerkosaan yang tidak berhasil dilakukan. Korban percobaan pemerkosaan hanya berlaku untuk perempuan, sedangkan korban percobaan serangan seksual dapat berlaku untuk laki-laki atau perempuan. 

Materi Pornografi 

Jumlah pasti materi pornografi yang tersedia saat ini atau di masa lalu sangat sulit untuk diketahui. Berbeda dengan statistic kejahatan seksual, data-data tersebut tidak dikumpulkan secara akurat oleh agen pemerintah atau agen swasta mana pun di Jepang. Banyak, jika tidak mayoritas, pembuat atau distributor pornografi adalah perusahaan-perusaha an sah yang menutup baik-baik rahasia angka produksi mereka sebagai bagian dari rahasia komtersial. Namun, di Jepang, cukup aman untuk dikatakan bahwa definisi apa pun yang digunakan tentang SEM dan pornografi, saat ini material semacam ini lebih banyak jumlahnya daripada pada 1970 dan 1980an. Indikasinya adalah jumlah dan jenis-jenis barang semacam itu telah bertambah seiring dengan waktu, diukur baik oleh angka produksi maupun dalam nilai yen. Jika dimungkinkan, saya akan memberikan angka-angka yang pasti tentang jumlah ataupun tipe materi pornografi atau SEM. Apabila tidak memungkinkan, saya akan memberikan deskripsi dan pengukuran kualitatif. 

Data Kejahatan Seksual

Data jumlah laporan kejahatan seksual di Jepang diambil dari Roposensho, Kepolisian Nasional Jepang (Japanese National Police Agency/JNPA) . Agensi ini serupa dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) di Amerika Serikat. JNPA telah menyimpan statistik kejahatan di Jepang sejak tahun 1948. Pada dasarnya, mereka mengumpulkan laporan tahunan dari 48 prefektur di Jepang. Catatan kejahatan resmi ini didasarkan pada laporan-laporan dari investigasi independen kepolisian. Dalam periode kajian makalah ini, tidak ada perubahan yang diketahui dalam hal pengumpulan dan pencatatan data di JNPA. 

HASIL-HASIL
HASIL-HASIL
Ketersediaan Material Pornografi

Ada banyak indikasi yang menunjukkan bahwa jumlah pornografi di Jepang mengalami peningkatan pada periode 1972-1995. Berdasarkan "Peraturan Perlindungan Remaja" yang diformulasikan oleh masing-masing prefektur di seluruh Jepang untuk mereka masing-masing (kecuali prefektur Nagano), diadakan pengumpulan data tentang benda-benda yang "dianggap merusak anak remaja". Benda-benda yang dimasukkan dalam daftar tersebut tidak diperbolehkan untuk dijual atau didistribusikan kepada mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun. Statistik ini dikumpulkan oleh petugas lokal, dan berisikan data tentang film-film dengan adegan seksual yang eksplisit, buku-buku, majalah-majalah dan video tape. Data-data ini setiap tahun dikirimkan ke Pejabat Kepemudaan di Somicho (Agensi Manajemen dan Koordinasi Pemerintah). Benda-benda yang terdaftar di situ bertambah jumlahnya dari 20.000 buah pada tahun 1970, hinga sedikit di atas 37.000 pada tahun 1980, kemudian menjadi 41.000 pada tahun 1990, hingga kemudian mencapai kurang lebih 76.000 pada tahun 1996, tahun terakhir data yang ada. Sejak tahun 1989 peningkatan terbesar material semacam itu disebabkan terutama oleh video-video dengan adegan seksual yang eksplisit. Walapun ada kategori-kategori pembatasan penonton, materi ini sebenarnya dapat dilihat oleh siapa pun dari kelompok usia berapa pun. 

Di 1991, pemerintah daerah dari 21 Prefektur menentukan 46 penerbitan berorientasi sex sebagai penerbitan yang 'merusak generasi muda' dan mengirimkan keluhan atas mereka kepada para penerbit. (Burril, 1991). Perusahaa-perusahaa n yang terlibat menerima kritikan yang muncul dan "Dewan Etika Penerbitan" dalam industri tersebut sepakat untuk melakukan penertiban masing-masing dan menasihati para perusahaan anggotanya untuk mencantumkan tanda "Komik Dewasa" di manga-manga berorientasi seksual (Anonymous, 1991a). Dewan tersebut juga mengusulkan lebih lanjut agar para distributor meletakkan komik-komik semacam ini di "adult corner" di toko masing-masing. Usulan ini belum tentu dituruti. Penjualan komik-komik bermuatan seks ini bernilai lebih dari \ 180 juta pada tahun 1990, naik 13 persen dari tahun sebelumnya (Burril, 1991). 

Produksi film cinta klasik Jepang Ai no Corrida ("Dalam Wilayah Rasa") dilarang di dalam Jepang karena konten ketelanjangan dan erotis di dalamnya. Film ini oleh Nagisa Oshima diproduksi di Perancis pada 1976 dan dengan segera menjadi sensasi di festival-festival film di New York dan Cannes. Namun, pada saat pertama kali ditayangkan di Jepang pada bulan Oktober 1976, film iin dengan segera disita oleh pihak yang berwajib. Film ini di dasarkan pada kisah nyata yang terkenal. Walaupun demikian, film tersebut - diantaranya memberikan gambaran sangat menaruik tentang Asphixiophlilia -tetap diangap terlalu vulgar utuk dilihat oleh publik Jepang. Produser dan penulis scenario dipanggil ke pengadilan dan dituntut karena 'tindakan yang tidak patut', namun akhirnya diputuskan tak bersalah (Okudaira, 1979; Oshima, 1979; Uchida, 1979). Versi yang telah disensor akhirnya dirilis belakangan. Ketelanjangan penuh akhirnya diperbolehkan untuk muncul di film untuk pertama kalinya pada tahun 1986 dalam Festival Film Tokyo (Downs, 1990). 

Buku teks universitas tentang seks berjudul Sexual Decisions (Diamond & Karlen, 1980) diterbitkan dalam bahasa Jepang pada tahun 1985 (Diamond & Karlen, 1985). Gambar-gambar posisi seksual dan lain-lainnya baru diperbolehkan setelah buku tersebut diedit dengan mengurangi ilustrasi yang menggambarkan rambut dan alat kelamin. Itu adalah teks pertama tentang seks di tingkat universitas di Jepang. Buku kumpulan foto seni yang pertama yang menampilkan ketelanjangan perempuan secara terang-terangan diterbitkan juga pada tahun 1985 (Downs, 1990). Buku SexWatching, yang ditujukan untuk umum memiliki ilustrasi 300 gambar, diterbitkan di Inggris pada tahun 1984 (Diamond, 1984), dan diterbitkan di Jepang pada tahun 1986 (Diamond, 1986). Lagi, beberapa ilustrasi aslinya yang dianggap sebagai kategori menengah di Amerika Serikat dan di Inggris, harus diganti dengan gambar-gambar lain yang sedikit lebih tidak mencolok. 

Perubahan dari sikap konservatif pada tahun 60an, 70an dan awal 80an mulai terjadi secara massif pada akhir 80an dan awal 90an. Majalah-majalah seperti Playboy dan Penthouse, yang menampilkan rambut kelamin, dilarang sama sekali di Jepang sampai tahun 1975. Selepas masa tersebut, gambar-gambar seperti itu diperbolehkan untuk masuk ke Jepang jika gambar-gambar tersebut di tutupi atau diburamkan. Larangan awal yang tidak memperbolehkan penampakan rambut kelamin diterapkan begitu rutinnya sehingga sejumlah pengamat yang objektif mengatakan bahwa standar kepantasan tersebut kadang-kadang menghalangi distribusi karya-karya seni yang serius, sementara di lain pihak tidak lagi efektif mengatasi semakin banyaknya materi-materi dengan konten seksual eksplisit (Anonymous, 1992). Di bulan Juni 1991, the Japan Times mengambarkan gelombang masuk komik-komik porno ke dalam pasar sebagai pertumbuhan pesat dari "penggambaran gairah seksual yang menyimpang dan kekerasan, dan juga pelecehan perempuan, dengan cara dan detail yang memuakkan, bahkan walaupun tanpa menampakkan rambut kelamin." (dikutip dalam Woodruff, 1991). Hampir bersamaan, Koran Asahi Shimbun mencatat bahwa polisi tidak lagi akan menghukum gambar-gambar 'bulu kelamin' dengan alasan 'ketidakpatutan' , karena kecenderungan yang ada di masyarakat menerima gambar-gambar seperti ini. Asahi kemudian menyimpulkan bahwa "keputusan (untuk tidak menghukum) ini menunjukan bahwa gambar (yang menampilkan) bulu kelamin tidak lagi dianggap sebagai standar utama dalam menilai ketidakpatutan" (Woodruff, 1991). 

Pada awal 1980an, kaset-kaset pornografi di Eropa dan Amerika seringkali disita sebagai produk terlarang dari orang-orang yang baru berkunjung ke luar negeri oleh agen-agen beacukai Jepang (Abramson & Hayashi, 1984). Materi-materi ini disita secara rutin. Sekarang kaset-kaset semacam itu diproduksi secara lokal dan tersedia di toko-toko Jepang. Seringkali kaset-kaset di dalamnya menampilkan aktor dan aktris yang baru saja melewati batas usia legal minimal (legal-minor) . 

Pada tahun 1989, sebuah survey tentang manga di toko-toko buku dan stand-stand majalah yang diselenggarakan oleh sebuah kelompok relawan, "Biro Warga Negara dan Kebudayaan Tokyo", menemukan bahwa lebih dari separuh cerita-cerita (dalam manga) tersebut menggambarkan peristiwa seksual. Mereka melaporkan: "Dalam banyak kasus, karakter perempuan (dalam cerita-cerita tersebut) diperlakukan hanya sebagai objek seksual untuk memenuhi kepuasan laki-laki." (Anonymous, 1991a). 

Kemudian juga di 1989, sebuah laporan oleh "Institut Penerbitan Penelitian Ilmiah" di Jepang menyajikan data statistik untuk kuantitas produksi penerbitan legal di Jepang. Dalam data tersebut, Playboy dan Penthouse tercatat sebagai majalah laki-laki dewasa dengan angka penjualan terbaik. Angka penjualan setengah tahunan Playboy berkisar di di angka 900,0000 eksemplar untuk setiap edisi yang dikeluarkan pada tahun 1977. Selain itu, Nilai bulanan majalah dengan konten seksual meningkat dari \ 3.264 juta di tahun 1984 menjadi \ 3.665 juta pada tahun 1988 (Shupan Nenkan, 1988, 1997). 

Pada bulan Februari 1991, Partai Demokratik Liberal meminta agar para anggotanya untuk meluncurkan undang-undang yang mengatur manga dengan konten seksual yang eksplisit (Anonymous, 1991a). Mosi tersebut gagal, namun keberadaannya menunjukkan bahwa peningkatan material pornografi telah menimbulkan keprihatinan sosial yang luas. Pada tahun tersebut, sebuah survey ("Survei tentang Komik di antara Generasi Muda") yang dilakukan oleh "Asosiasi Pendidikan Seksual Jepang" (JASE, 1991) menemukan bahwa 21,6% siswa laki-laki dan 7,6% siswa perempuan dari sekolah menengah membaca 'komik porno' secara regular. Pada tahun 1993, survey yang dilakukan oleh Somucho (Agensi Manajemen dan Koordinasi Pemerintah) menemukan bahwa 50% siswa laki-laki dan 20% siswi perempuan sekolah menengah pertama dan atas secara rutin membaca 'komik porno'. 

Indeks lain tentang material yang terkait seks yang tersedia di Jepang mungkin dapat terlihat dari jumlah industri terkait sex (fuuzoku kanren eigyou) yang terdaftar dan diawasi oleh polisi. Industri ini misalnya strip theatre, hotel cinta/hotel jam-jaman (yang kamarnya bisa disewa dalam unit per-jam), toko sex dewasa (untuk pembelian materi pornografi atau benda-benda lain yang terkait dengan aktivitas seksual), dan "soap land" ('negeri sabun', yaitu jasa layanan seksual dalam bentuk panti pijat dan sebagainya). Pihak berwenang menggunakan statistik ini untuk memantau potensi pengaruhnya terhadap generasi muda. Menurut statistik J.N.P.A (Kantor Kepolisian Jepang), pada tahun 1972 ada 7.500 usaha industri semacam itu, dan pada 1995 ada sekitar 12.600 usaha. Segmen terbesar dari industri jasa ini adalah "Panti Pijat" yang dalam operasinya seringkali menawarkan jasa layanan seksual. Saat ini, ada juga tipe " Body Shampoo Parlour" (Roposensho, 1995). 

Jasa layanan telepon seksual juga semakin lama semakin umum. Pada 18 bulan pertama jasa layanan ini mulai dibuka, sebuah jasa layanan informasi bisnis komersil, "Dial Q2", yang sebelumnya hanya menyediakan jalur informasi untuk hasil pertandingan olahraga, iklan, dan panduan kesehatan, pada tahun 1991 mengalihkan lebih dari seperempat jalur layanan telponnya ke layanan telepon seks (Anonymous, 1991b). Jasa layanan ini menjadi jasa layanan yang sangat populer hingga sekarang, bahkan walaupun setiap orang yang hendak bergabung diwajibkan untuk membuat permintaan khusus dahulu sebelumnya. "Klub-klub Telpon" juga semakin banyak bertambah. Di klub-klub tersebut, para laki-laki akan menunggu telpon dari para anggota perempuan. Nomor yang akan ditelpon oleh para gadis tersebut, diiklankan bebas pulsa; pengelola juga menjanjikan 'keasikan' dan 'percintaan' melalui jasa layanan tersebut. Jasa layanan ini juga seringkali dimanfaatkan sebagai sarana kontak bagi para PSK dengan pelanggannya. Jasa ini juga menimbulkan kekhawatiran sosial yang besar karena survey-survei informal menunjukkan bahwa seperempat siswi SMA ternyata pernah melakukan kontak melalui sebuah klub telepon. 

Pada tahun 1992, pihak berwenang kadang-kadang menuduh pihak majalah atau koran untuk public indecency jika mereka menampilkan gambar telanjang, atau menampilkan gambar-gambar yang menunjukkan alat kelamin atau rambut kelamin. Namun demikian, tindakan-tindakan penyitaan oleh polisi menjadi semakin jarang dan pengambilan tindakan juga semakin tidak konsisten. Anehnya, serangan hukum semacam ini justru cukup sering terjadi jika gambar yang dipermasalahkan adalah jelas-jelas merupakan sebuah karya seni (Anonymous, 1992). Namun pada tahun 1993, pelarangan-pelarang an seperti itu menjadi jarang. 

Pada tahun 1993, Shukan Post menjadi majalah dengan penjualan tertinggi di jepang. Hal ini tampaknya disebabkan karena adanya foto-foto yang memperlihatkan sekilas rambut kelamin, foto-foto gadis telanjang, dan artikel-artikel tentang seks. Sirkulasi majalah tersebut melonjak dari 850.000 dari semester pertama tahun 1993, menjadi 867.000 pada semester pertama 1996. Popularitasnya mendorong dua majalah lain yang muncul belakangan, yang menampilkan konten seksual yang lebih eksplisit lagi: Shukan Bunshum dan Shukan Shincho. Pada tahun 1995, majalah-majalah ini memiliki angka penjualan mingguan di atas 600.000 eksemplar (Shuppan Nenkan, 1997). 

Sikap publik terhadap pornografi dapat terlihat dari jumlah kasus yang ditangani polisi dalam kategori "pendistribusion materi-materi yang tidak patut". Namun, walaupun angka SEM terus meningkat dari tahun ke tahun, penangkapan dan penindakan semacam ini terus mengalami penurun dari angka 3.298 pada tahun 1972, menjadi 702 di tahun 1995 (Roposensho, 1995). 

Saat ini, tidak hanya tampilan visual bulu kelamin ataupun alat kelamin yang muncul, namun juga penggambaran visual bermacam interaksi seksual hard-core seperti bestiality, sadomasochism, necrophilia, dan incest; Karakter yang terlibat bisa orang dewasa, anak-anak, atau keduanya. Dan mereka juga bisa ada di manga ataupun di materi bacaan dewasa. Ada "Hukum Kesejahteraan Anak" di Jepang yang melarang pelacuran anak. Namun demikian, tidak ada hukum pornografi anak yang spesifik dan SEM yang menampilkan anak-anak di bawah umur dapat ditemukan dengan mudah dan dikonsumsi secara luas. Kebanyakan tuduhan 'ketidakpatutan' yang diajukan saat ini lebih terkait pada penggambaran pemerkosaan dengan kekerasaan atau pemerkosaan massal atau film atau video yang mengggambarkan perilaku seksual yang dianggap menyimpang dan berbahaya (seperti dalam Ai no Corrida). 

Menurut satu laporan tertentu, Diet Jepang sedang mempertimbangkan membuka untuk umum koleksi buku dan majalah kategori-X, yang sebelumnya tidak bisa diakses umum dalam 30 tahun terakhir. Juru bicara Perpustakaan Diet Nasional menyatakan bahwa koleksi tersebut memperlihatkan bagaimana interpretasi pihak berwajib tentang standar kepatutan mengalami perubahan dari dekade ke dekade. Perpustakaan itu telah mengumpulkan sekitar 2.800 eksemplar buku dan majalah yang dianggap sebagai tidak patut oleh Pemerintahan Kota Tokyo dan melarang penjualannya pada kelompok usia di bawah 18 tahun. Koleksi tersebut, berasal dari material-material yang wajib didonasikan oleh para penerbit, terdiri dari novel dan komik porno, serta edisi-edisi majalah sirkulasi massal yang berisikan foto-foto telanjang (Anonymous, 1996).

Ukuran tambahan lainnya berkenaan dengan erotika di jepang adalah laporan yang disusun oleh Greenfeld (1994). Pada tahun 1994, dia menuliskan bawha kurang lebih 14.000 video "Dewasa" dibuat setiap tahunnya di Jepang dibandingkan sekitar "2500" video di Amerika Serikat. Dan rata-rata orang Jepang menonton film satu jam lebih lama dibandingkan rata-rata orang Amerika. 

Kejahatan Seksual

Data kejahatan seksual - yang secara konsisten dan rutin disimpan dalam catatan kepolisian - adalah yang tersedia dan lebih jelas dibandingkan dengan ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif lainnya tentang pornografi. Sangat jelas dari data yang ada (Tabel 1) bahwa peristiwa pemerkosaan mengalami penurunan secara dramatis dan konstan selama masa dalam kajian. Pemerkosaan telah mengalami penurunan secara progesif dari 4677 kasus dengan 5464 pelaku pada tahun 1972, menjadi 1500 kasus dengan 1160 pelaku pada tahun 1995; pengurangan sekitar dua pertiga kasus. Karakter pemerkosaan juga mengalami perubahan. Pada awal periode pengkajian lebih banyak kasus pemerkosaan dilakukan berkelompok (lebih dari seorang) disbandingkan periode-periode berikutnya. Itulah yang menyebabkan angka pelaku melebihi angka pemerkosaan yang dilaporkan. Semakin lama pemerkosaan berkelompok menjadi semakin langka. Angka pemerkosaan yang dilakukan oleh remaja juga berkurang secara signifikan. Remaja adalah pelaku 33% dari kasus pemerkosaan di tahun 1972, namun pada 1995 hanya 18% kasus pemerkosaan dilakukan oleh remaja. 

Pada periode sama, kasus-kasus serangan seksual juga mengalami penurunan dari 3.139 kasus di tahun 1972 menjadi rata-rata kurang dari 3.000 kasus per tahun di antara tahun 1975 hingga 1990. Pada tahun 1995, angka tersebut melonjak menjadi 3.644 kasus. Namun, apabila dilihat dari rata-rata per penduduk, maka sebenarnya tidak terjadi peningkatan. Selama periode tersebut, populasi Jepang telah meningkat lebih dari 20 persen, dari 107 juta jiwa pada 1970 menjadi 125 juta jiwa pada 1995 (Nihon no Tokei, 1996). Jadi, apabila jumlah total kasus tersebut dibagi dengan jumlah total penduduk, maka terlihat bahwa terjadi penurunan angka dari 0,0292 kasus per seribu penduduk, menjadi 0,0290 kasus per seribu penduduk. Perlu juga di catat bahwa pada periode ini, menurut catatan kepolisian, pengadilan mengabulkan 85% dari keseluruhan kasus perkosaan yang dilaporkan pada tahun 1972, dan kemudian meningkat menjadi 90% pada tahun 1980an, dan kemudian menjadi di atas 95% pada tahun 1990an. Hal ini mungkin karena, di tahun-tahun belakangan sang pelaku pemerkosa umumnya tidak dikenal oleh sang korban; dengan demikian lebih mudah membuktikan di pengadilan adanya elemen pemaksaan (iv). 

Data mengenai 'tindakan tidak patut di depan publik' (seperti flashing) lebih mirip dengan data mengenai pemerkosaan daripada dengan data mengenai serangan seksual. Kasus-kasus 'tindakan tidak patut di depan publik' turun sebanyak sepertiga bagian dalam periode yang sama. Mengingat peningkatan populasi yang cukup pesat pada periode sama, maka rasio kasus ini mengalami penurun hingga 50%.

Statistik polisi menggunakan kategori usia: 0-5, 6-12, 13-19, 20-24, 25-39, 30-39, 40-49, dan seterusnya. Tiga kategori usia pertama adalah kategori usia yang diasosiasikan dengan "masa sebelum sekolah", "usia sekolah dasar dan menengah pertama", dan "usia sekolah menengah atas". Kategori ini juga menunjukkan pemikiran di Jepang yang menganggap bahwa usia 20 adalah usia dimana seseorang dianggap telah dewasa secara hukum. 

Pengurangan paling dramatis dalam angka kejahatan seksual adalah ketika perhatian difokuskan pada jumlah dan usia para pemerkosa serta korban di kelompok usia muda (Tabel 2). Kami mengajukan hipotesa bahwa peningkatan material pornografi, tanpa batasan usia dan dalam komik, jika memiliki efek sampingan, akan memiliki pengaruh buruk pada kelompok usia muda. Namun kami menemukan hal yang sebaliknya terjadi. Angka pelaku kejahatan seksual remaja justru turun secara signifikan dari 1.803 pelaku pada tahun 1972 menjadi 264 pelaku pada 1995; terjadi penurunan hingga 85% (Tabel 1). Angka korban juga mengalami penurunan dalam kelompok perempuan berusia di bawah 13 tahun (Tabel 2). Pada tahun 1972, 8,3% korban adalah perempuan berusia lebih muda dari 13 tahun. Pada tahun 1995, persentasenya menjadi 4,0%. 

Pada 1972, 33,3% pelaku berusia diantara 14-19 tahun; pada tahun 1995 persetasenya menurun hingga 9,6%. Oleh karena itu, dalam periode kajian ini, ada perubahan cukup besar baik dari segi korban dan pelaku, dari usia yang lebih muda ke usia yang lebih tua. 

Terakhir, di Jepang, walaupun angka pemerkosaan total menurun, persentase pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal meningkat secara pasti dari 61,6% kasus pemerkosaan yang dilaporkan pada 1979 menjadi 79,5% kasus pada tahun 1995. Perkosaan dalam keluarga dan dalam kencan, dengan demikian, menurun secara signifikan. Selain itu juga pemerkosaan berkelompok. Pada tahun 1972, 12,3% tindak pemerkosaan oleh remaja dilakukan oleh dua atau lebih pelaku. Seiring dengan waktu, persentase itu berkurang hingga menjadi 5,7% di tahun 1995. 

Sebagai semacam alat kontrol data statistik, kami menganalisa kasus-kasus pembunuhan maupun serangan fisik non-seksual yang melibatkan kekerasan dalam periode 1972 hingga 1995 (Tabel 1). Di sini juga terlihat bahwa pengurangan secara dramatis terjadi selama periode yang sama. Kasus pembunuhan menurun hingga 40%, dan kasus-kasus serangan fisik non-seksual juga menurun hingga 60%. Namun demikian dalam kedua kategori kejahatan tersebut tidak ada pergeseran kelompok usia baik dari para pelaku maupun para korban.

Kejahatan seksual di Jepang bag 1

Pertanyaan tentang apakah pornografi terkait dengan tindak pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya telah diajukan oleh berbagai masyarakat berbeda dalam berbagai kurun waktu. Di Amerika Serikat, ada hasil kajian yang dilakukan oleh sebuah komisi yang dibentuk oleh Presiden Lyndon B. Jhonson (Komisi Pornografi, 1970). Hasil kajian komisi ini menyatakan bahwa bahwa tidak terlihat adanya kaitan yang jelas antara pornografi dengan tindak pemerkosaan ataupun kejahatan seksual lainnya yang dilakukan oleh anak muda ataupun orang dewasa. Mengikuti jejak dari komisi 1970 tersebut, pada tahun 1986 komisi kejaksaan agung Amerika Serikat mengeluarkan laporan mereka tentang pornografi (Meese, 1986). Dibentuk pada tahun 1984 oleh perintah dari Presiden Reagan, komisi ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan komisi 1970. Komisi ini menyimpulkan bahwa 'keterpaparan terhadap materi-materi pornografi secara substansial. memiliki hubungan sebab-akibat dengan tindakan-tindakan kekerasan seksual yang bersifat anti-sosial' . Namun, berbeda dengan komisi kepresidenan sebelumnya, komisi kejaksaan agung ini dibentuk untuk tujuan politik, bukan ilmiah. Anggota komisi ini umumnya bukanlah ilmuwan, tidak melakukan penelitian sendiri dan tidak menugaskan pihak lain untuk melakukannya. Komisi tersebut hanya mengumpulkan kesaksian dari pihak-pihak yang pandangannya mereka duga memang sejalan dengan pandangan mereka sendiri, serta tidak mewawancarai pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka (Lynn, 1986, Nobile & Nadler, 1986; Lab, 1987) . Laporan minoritas (Minority Report) (i) komisi Messe ini - yang ditulis oleh dua dari tiga orang perempuan di dalam keanggotaan panelnya, satu orang di antaranya memiliki pengalaman luas dalam penelitian tentang perilaku seksual - tidak bersetuju dengan laporan mayoritas yang dikeluarkan komisi tersebut. Laporan minoritas ini mengatakan bahwa laporan komisi Messe tidak sesuai dengan data ilmu pengetahuan sosial yang terkumpul (Messe, 1986). Kajian-kajian skala nasional tentang topik sama yang dilakukan di kemudian hari juga tidak dapat menemukan bukti yang kuat tentang kaitan antara tingkat pemerkosaan nasional dengan ketersediaan materi pornografi dalam bentuk majalah (Baron and Strauss, 1987) atau dengan keberadaan bioskop untuk dewasa dalam satu komunitas tertentu (Scott and Schwalm, 1988; Winick & Evans, 1996).

Di Inggris, sebuah komite yang dibentuk secara swasta (Amis, Anderson, Beasley-Murray, et al., 1972), mencoba mengkaji situasi pornografi domestik di Inggris dan menyimpulkan bahwa materi-materi semacam itu memiliki dampak buruk terhadap moral publik. Komisi ini juga mengabaikan bukti-bukti ilmiah denga tujuan memberikan perlindungan terhadap 'barang-barang publik' (public goods) dari hal-hal yang dapat 'merusak dan mendegradasikan moral' manusia. Namun, sebuah Komite Resmi (Morisson) yang dibentuk oleh Kerajaan Inggris, pada tahun 1979 menganalisa situasi yang terjadi dan melaporkan (Home Office, 1979) bahwa: Dari apa yang kami ketahui tentang perilaku sosial dan telah kami pelajari dari penelusuran kami, kami percaya bahwa peranan dan pengaruh pornografi cenderung kecil dalam mempengaruhi masyarakat kita. Kesimpulan selain ini. terlalu membesar-besarkan masalah pornografi (hal. 95). Ulasan McKay dan Dolff (1984) untuk Departemen Kehakiman Kanada, mengemukakan hal yang pada intinya sama, yaitu bahwa: "Tidak ada bukti yang dihasilkan dari penelitian sistematik yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara pornografi dengan kondisi moral masyarakat Kanada. [demikian pula tidak ada] yang menunjukkan bahwa kenaikan angka statistik bentuk-bentuk perilaku menyimpang tertentu, dalam hal kecenderungan meningkatnya statistik angka kejahatan (misalnya angka peristiwa pemerkosaan) , memiliki hubungan sebab-akibat dengan pornografi." Di Kanada, Komite Frazier pada 1985, setelah memeriksa ulang bukti-bukti yang ada, mengatakan bahwa data yang telah dikumpulkan oleh komite sebelumnya disusun dengan demikian buruk sehingga tidak ada rangkaian bukti yang konsisten yang dapat digunakan untuk mengutuk pornografi (Kanada, 1985, hal.99).

Pemerintahan negara-negara Eropa dan Skandinavia yang melakukan kajian untuk mencari tahu kaitan antara pornografi dengan kasus pemerkosaan dan serangan seksual, menemukan bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat yang jelas di antara keduanya(Kutchinsky , 1985a, 1991). Untuk negara-negara seperti Denmark, Jerman Barat dan Swedia - tiga negara yang memiliki cukup data pada masa tersebut - Kutchisnky menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya kuantitas pornografi, angka pemerkosaan di negara-negara tersebut menurun atau relatif tetap. Menurut Kutchinsky, hanya di Amerika Serikat saja, di dekade 70 hingga awal 80an, ada peningkatan angka kasus pemerkosaan seiring dengan meningkatnya kuantitas pornografi (Kutchinsky, 1985a, 1991). Namun, Kutchinsky juga mencatat bahwa perubahan metode pencatatan kasus-kasus pemerkosaan mungkin adalah penyebab peningkatan angka kasus-kasus tersebut. 

Mengingat volume dan intensitas debat yang tinggi di Eropa dan Amerika Serikat tentang hubungan antara pornografi dengan kejahatan seksual, maka penting untuk melihat bagaimana kondisi negara-negara di luar negara-negara Barat dalam hal perbandingan antara ketersediaan SEM (Sexually Explicit Material - materi seksual eksplisit) dengan angka pemerkosaan dan kejahatan-kejahatan seksual lainnya. Jepang, sebuah komunitas budaya Asia dengan tradisi panjang dominasi laki-laki dan ketertundukan perempuan, serta masa 13 tahun pelegalan prostitusi di periode pasca Perang Dunia II, menawarkan kerangka kebudayaan yang kontras dengan Amerika Serikat maupun negara-negara barat lainnya yang pernah dikaji sebelumnya. 

Di Jepang, terjadi peningkatan kuantitas yang jelas dalam pornografi dalam dekade sekarang (makalah ini ditulis pada tahun 1999 - penj.). Kelompok-kelompok konservatif dan media menyerukan agar pemerintah mengambil tindakan untuk menghentikan gelombang pasang pornografi yang mereka persepsikan sedang terjadi. Sebagai contoh, para warga negara di prefektur Wakayama menuntut agar pemerintah mengendalikan manga-manga dengan konten seksual eksplisit yang ditujukan untuk anak-anak (Mainichi-shinbun, 1990).

Saat ini di Jepang, buku-buku, majalah, dan kaset video dengan konten seksual eksplisit, yang mencoba membangkitkan berbagai ketertarikan erotis dan sebagainya, dapat didapatkan dengan mudah. Termasuk di antara hal-hal tersebut adalah manga-manga berisi konten seksual yang tidak dibatasi oleh kategori usia. Bilik-bilik telpon umum dan koran-koran berisikan iklan-iklan mengenai jasa layanan seksual dengan berbagai bentuk. Walaupun demikian, pornografi modern seperti ini, terhitung masih cukup baru. Pada dasarnya, beberapa saat setelah Perang Dunia II - ditandai dengan penguasaan militer Amerika Serikat hingga tahun 1951 - ada larangan untuk menyebarkan SEM. Kebijakan ini masih terus dipertahankan di bawah pemerintahan Jepang hingga akhir dekade 80an; penggambaran ketelanjangan secara frontal dilarang, dan juga penggambaran bulu-bulu kelamin dan ataupun alat kelamin. Akibatnya, tindakan-tindakan seksual juga tidak boleh digambarkan secara jelas. 

Situasi tersebut mengalami perubahan drastis di dekade sekarang (artikel ini ditulis tahun 1999, penj). Walaupun hukum-hukum yang ada tidak berubah, interpretasi terhadap hukum-hukum tersebut berubah. Para hakim di periode ini semakin lama menjadi semakin liberal dalam membolehkan pornografi dalam skala yang lebih besar untuk dianggap sebagai 'patut' (not obscene). Senada dengan hal ini - seperti halnya terlihat dalam pemberitaan luas kasus pemerkosaan seorang gadis Okinawa oleh para tentara Amerika di tahun 1995 - kasus-kasus pemerkosaan semakin dipandang sebagai masalah serius di jepang (Anonymous, 1995). Oleh karena itu, analisa tentang tahun-tahun tersebut, yang sarat dengan berbagai perubahan cepat, penting dilakukan. 

Kajian kali ini terutama tentang tindakan pelanggaran hukum seperti pemerkosaan, serangan seksual dan public indecency (tindakan tidak patut di depan publik) di Jepang, dan mencoba mengalisa bagaimana hal-hal tersebut terkait dengan peningkatan materi-materi seksual yang eksplisit. Sebagai perbandingan dan juga sebagai alat 'kontrol', kita juga akan melihat angka kejahatan non-seksual dan pembunuhan yang terjadi pada periode yang sama. Kita akan melihat terutama pada dampak yang mungkin terjadi pada remaja sebagai akibat ketersediaan materi-materi pornografi secara luas.

Metodologi

Periode yang dipilih untuk pengkajian ini adalah masa 23 tahun dari 1972 hingga 1995. Ini adalah tahun-tahun dimana data-data resmi dari Jepang tersedia. Sebelum 1972, metode pengumpulan data dan definisi untuk kejahatan seksual yang digunakan di Jepang berbeda secara signifikan dengan metode dan definisi yang digunakan sekarang. Dengan demikian data-data dari masa tersebut tidak cocok untuk dibandingkan. Periode 72-95 juga meliputi periode saat Jepang mengalami transisi dari negara yang hukumnya (atau lebih tepatnya: interpretasi terhadap hukum) terkait pornografi bersifat cukup ketat menjadi negara yang metode penyensorannya saat ini dapat dikategorikan sebagai permisif. 

Definisi

Terminologi pornografi, pemerkosaan, serangan seksual dan semacamnya adalah terminologi- terminologi yang tidak hanya digunakan secara populer, namun juga digunakan sebagai istilah hukum. Untuk memudahkan diskusi selanjutnya, pornografi didefinisikan secara luas sebagai materi dengan konten seksual eksplisit (sexually explicit material/SEM) yang dikembangkan atau diproduksi terutama untuk membangkitkan ketertarikan seksual atau untuk memberikan kenikmatan erotis. Pornografi bisa ada di media apa pun dan bisa bersifat legal atau ilegal. Di Jepang, sebagaimana di Amerika Serikat, semua SEM yang bersifat ilegal dianggap pasti bersifat obscene (tidak patut). Produksi atau penyebaran material-material semacam ini dianggap sebagai kegiatan ilegal. Setiap prefektur dapat, dengan peraturannya sendiri, memodifikasi hukum yang berlaku pada orang berusia di bawah 18 tahun. Dalam aplikasinya, pornografi secara nasional adalah yang menampilkan apa yang disebut sebagai hard-core erotica (ii), namun hingga dekade 70 dan masuk ke 80an, termasuk dalam pornografi adalah material-material yang mengggambarkan alat kelamin, bulu kelamin, dan ketelanjangan penuh. Penggambaran kegiatan seksual dalam materi-materi pendidikan atau benda kesenian mungkin dapat dianggap sebagai pornografi. Walaupun demikian sikap publik dan pejabat berwenang mengenai materi-materi kesenian dan pendidikan ini secara bertahap mengendur dari sejak 1970an. Terutama pada tahun 1990 dan 1991, perubahan besar mulai terlihat terjadi dalam hal bagaimana hukum tentang pornografi diinterpretasikan; semakin lama semakin sedikit material yang dilaporkan sebagai material yang 'tidak patut', dan lebih sedikit lagi yang akhirnya ditetapkan secara hukum sebagai 'tidak patut'. Alasan terjadinya perubahan ini masih belum jelas.

Pornografi Di Jepang

Pornography mempunyai sejarah yang sangat panjang di Jepang. Dari berbagai reffrensi yang saya baca mungkin bisa disebutkan bahwa pornography mulai berkembang sejak Muromachi era (1336 to 1573) yang ditandai dengan mulai berkembangnya seni lukis erotik yang dikenal dengan nama "Shunga". Lukisan ini dibuat di atas cukilan kayu untuk selanjutnya di cetak di atas kertas dalam jumlah banyak., karena teknik cetak seperti sekarang belum dikenal pada jaman itu. Jadi melihat dari sejarah yang ada, sejak jaman dulu masyarakat sudah terbiasa disuguhi dengan berbagai materi yang berbau porno bahkan tidak berlebihan kalau saya sebutkan kalau pornography adalah merupakan bagian dari budaya.. 

Cukup menarik karena bebasnya pornography di negara itu ternyata sama sekali tidak menganggu aktivitas masyarakat sehari hari. Kebanyakan orang Jepang menganggapinya biasa biasa saja dan cendrung tidak berlebihan. Tentu saja, sesuatu yang biasa di negara lain bisa jadi hal yang sangat luar biasa dan sangat diminati di negara kita dan sepertinya karena sebab itulah Anda sampai di halaman ini bukan ? Awalnya saya kurang terlalu berminat menulis topik ini karena khawatir disebut "tahu banyak" namun karena cukup sering ditanyakan akhirnya tulisan ini saya buat juga. Baik saya mulai dari bagian yang ringan dan mudah :

 

MATERI PORNOGRAPHY

01. Majalah

Bebas dibuka

Dari sampul depanya, sepertinya dengan mudah bisa ditebak isinya walaupun oleh orang yang tidak mengerti huruf Jepang sekalipun, seperti saya. Majalah ini bisa ditemukan dan dijual bebas di mini market atau convinance store terdekat. Harganya relatif murah dan hampir tidak jauh beda dengan majalah biasa. Uniknya majalah ini bisa dibuka dengan bebas karena sama sekali tidak disegel. Sambil nyengir mesum membayangkan gambar didalamnya, sayapun mencoba membuka majalahnya. Gedabrak ! Isinya ternyata cukup membuat saya hampir pingsan, mata melotot dan mulut lupa menutup. Maklum saya rada kampungan urusan begini. Tebal majalahnya hampir sama dengan buku pelajaran ketika sma dulu, namun isinya tentu saja tidak sama (dodol !). Ada beberapa halaman yang tertutup atau dibuat lengket jadi satu. Sialnya halaman yang lengket itu justru merupakan halaman utamanya. Bagi yang pernah atau mengenal atau melihat majalah dewasa semacam playboy mungkin bisa membayangkannya dengan lebih mudah namun dengan penyajian, nuansa dan kulit yang lain.. Satu perbedaan lagi adalah isi majalah yang lebih bervariasi jadi selain gambar atau foto "syur" tadi juga ada artikel, gosip, atau berita lain yang mungkin tidak ada hubungannya dengan sampul depan.. Majalah semacam ini bisa ditemukan dalam jumlah beragam dan saya menduga photo heboh tersebut hanyalah sebagai selingan semata.

Dibeli namun tidak dibawa pulang

Yang menarik, walaupun bisa dilihat dengan bebas, saya hampir tidak pernah melihat keributan, antrean panjang,, adu jotos berebutan ingin membeli. Semuanya tampak biasa biasa saja kecuali kadang kadang tampak beberapa anak remaja yang melintas dengan tertawa cekikikan, sambil menujuk pada sampul depan, yang memperlihatkan si model dengan pembungkus pelampungnya yang hampir meletus. Pembeli majalah ini biasanya adalah golongan pria setengah baya, atau umum disebut Ojisan atau ossan, yang kadang kadang meninggalkan begitu saja majalahnya sehabis dibaca di di dalam kereta, karena takut ketahuan istri kalau dibawa ke rumah. Selain orang Jepang sendiri, kadang saya pernah juga melihat kerumunan orang asing dengan bahasa yang tidak saya mengerti yang tampak sibuk membolak balik majalah tersebut dengan penuh nafsu. 

Note : Sedikit catatan kecil yang bisa ditulis adalah semua pornography yang beredar berupa photo baik berupa buku ataupun majalah walaupun porno tetap memiliki aturan yang jelas seperti tidak menampilan photo genital secara langsung dan juga tidak menampilkan adegan orang yang lagi bersenggama. Jadi kalau kalau seandainya gambar/ photo seperti yang saya sebutkan terakhir ini Anda temukan, dipastikan adalah barang illegal dan sebaiknya jangan melihat, membeli atau menyimpannya.

02. Komik

Selain majalah, pornography juga memasuki dunia komik dalam jumlah yang mungkin lebih banyak lagi namun dengan harga yang jauh lebih murah. Pilihannya sangat banyak, dari yang 1/2 porno 1/4 porno atau 100% porno. Bagi yang nafsu besar, dompet melompong, bisa mendatangi toko komik bekas yang banyak terdapat sekitar stasiun di jepang. Ditoko ini, kita bisa membaca atau melihat lihat halamannya bukunya sepuasnya tanpa ada keharusan untuk membeli. Karena harganya sangat murah, toko komik bekas ini biasanya selalu ramai dan penuh sesak. Tentu saja isinya bukan komik porno melulu, agar tidak rancu dengan judul. Komik doraemon, komik anak anak, buku pendidikan dan buku umum lainya juga pasti ada. Semuanya dibedakan dan mempunyai tempatnya sendiri sendiri. Dibandingkan dengan majalah, yang umumnya "pemain tunggal", pada komik materei yang disajikan sudah lebih bervariasi yaitu berpasangan. Di tempat ini pria dan wanita bergabung dan tenggelam meembaca komik kegemarannya namun tanpa menimbulkan "keributan" apapun. Tentu saja, mana ada orang normal yang terangsang hanya dari melihat gambar kartun kecuali orang sinting.

03. Video

Mungkin jenis ini paling banyak dikenal dan juga beredar di negara kita yaitu adult video atau lebih dikenal dengan sebutan JAV.. Video porno, dan sekarang mulai digantikan dengan dvd, biasanya bisa kita temukan di tempat tempat penjualan, atau penyewaan video biasa. Untuk mendapatkannya, kita harus memasuki ruangan khusus yang kadang hanya dibatasi dengan selembar kain. Bagi yang maniac atau virus mesumnya sudah level tinggi, bisa mendatangi toko yang khusus menjual video dan dvd porno saja. Tempatnya cukup luas bahkan kadang sangat luas, dari lantai satu sampai diatasnya isinya penuh dengan barang serupa tapi tidak sama. Peminatnya sekarang lebih bervariasi tidak didominasi oleh pria setengah umur saja, namun juga laki laki muda bahkan wanitapun walaupun jarang, kadang kadang bisa kita temukan “berkeliaran” walaupun biasanya masih beserta pasangannya.

Gambar buram berarti resmi

Dari info yang saya dapatkan, peredaran film sejenis ini, di Indonesia lebih vulgar dan lebih bebas dari di Jepang dan bagi yang sudah pernah menonton video porno di Indonesia dan membandingankannya dengan yang di sini pasti akan kecewa berat, katanya. Kenapa ? Karena ternyata ternyata bagian yang dianggap penting biasanya disensor atau diburamkan dengan gambar mozaik. Namun walaupun begitu bukan berarti video yang tanpa sensor tidak bisa didapatkan Pembelian bisa dilakukan lewat telephone, berdasarkan daftar selebaran yang dimasukkan oleh seseorang (entah siapa) di kotak post rumah atau aparteman. Transaksinya tentu saja gelap alias illegal. Kalau kita beruntung, kita bisa mendapatkan video bersih tanpa sensor, tapi kalau apes, berarti siap siap gigit jari karena hanya mendapaktan video Mickey Tikus. Penipuan seperti ini kerap terjadi. Korban dipastikan tidak akan melapor, kecuali orang yang kelewat jujur. 

04. Film layar lebar

Film dewasa dengan layar lebar juga bisa kita jumpai di bioskop tertentu saja. Uniknya, poster pertunjukan yang sedang atau akan dimainkan biasanya ditempelkan di dinding khusus yang sangat tersembunyi atau kadang malah di belakang gedung jadi terbalik dengan bioskop normalnya. Namanya juga film, pasti ada jalan ceritanya juga walaupun mungkin adegan utamanya sama saja. Kata mungkin terpaksa saya tambahkan, karena belum pernah menontonya secara langsung. Saya beberapa kali pernah melakukan survey kecil untuk mengetahui rentang umur penonton dan mendapatkan hasil umur rata rata yang berkiar 40 tahunan ke atas. Bukan hal aneh kalau sekali kali saya melihat bioskop ini didatangi oleh orang asing yang biasanya datang berkelompok. Sepertinya di negara mereka, film semacam ini susah atau bahkan tidak mungkin untuk didapatkan. (Note :hanya dugaan saja)

05. Buku

Di toko buku yang relatif besar, kita bisa mendapatkan buku yang khusus memuat photo wanita dalam posisi telanjang. Buku seperti ini biasanya dicetak ekslusif dan hard cover dan kualitas photo yang prima namun sayang karena dalam kondisi tersegel tanpa bisa dilihat atau diintip sedikitpun. Kalau Anda berpindah tempat, mendatangi counter Art and Painting, dipastikan juga Anda akan menemukan buku sejenis yaitu berbagai buku yang memuat pose wanita telanjang dalam berbagai posis yang biasanya dipakai sebagai model lukisan oleh seniman miskin yang tidak bisa membayar sewa model. Juga ada seri lukisan Ukiyoe yang bertema erotic dari sejumlah seniman ternama. Walaupun cuma sebuah lukisan, dijamin cukup membuat wajah Anda memerah, apalagi kalau belum terbiasa meliahat gambar seperti itu. Yang paling menggembirakan, buku ini bisa dilihat bebas karena dipajang tanpa segel sama sekali. Saya tidak tahu apakan Anda akan menggolongkannya dengan pornography atau tidak, yang jelas ada ketelanjangan didalamnya. 

06. Lain lain

Disamping media yang telah saya sebutkan di atas, masih ada beberapa media lagi yang tidak luput dari pornography yaitu koran, khususnya untuk koran sport/ pacuan kuda edisi sabtu dan minggu, internet, tv cable dan juga tv umum. Khusus untuk yang terakhir ini program acaranya setiap akhir pekan selama satu jam tengah malam. Sepertinya tidak banyak yang bisa di nikmati didalamnya karena cuma sebatas cuman foto model, promosi video porno terbaru dan bincang bincang masalah yang ngeres dan sedikit ngawur. 

 

 

KETERANGAN TAMBAHAN

Bisnis para yakuza

Bisnis pornography, di belahan dunia mana saja, pasti menarik karena umumnya mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Satu hal yang tampaknya pasti untuk kasus di Jepang adalah hampir sebagian besar usaha pornography di negara ini dikelola oleh kelompok yakuza. Usaha seperti ini sepertinya sudah merupakan lahan mereka secara turun termurun. Pemain atau aktris yang terlibat didalmnya juga kadang melakukannya karena keterpaksaan seperti jeratan hutang dll, yang ujung ujungnya harus berurusan dengan golongan ini, walaupun tentu saja wanita yang melakukannya kerena sudah niat dari awal demi imbalan yang sangat besar, tentu lebih banyak lagi. 

Panti pijat, penyewaan dan pemutara video

Seperti halnya di negara lain, panti pijat sangat rawan dengan pornography. Pijat atau massage memang sangat populer dan digemari di negara ini, namun tempat massage yang melayani service khusus ini bisa dibedakan dengan sangat jelas. Saya yakin Andapun akan bisa membedakannya dan dijamin tidak akan mungkin sampai salah masuk kecuali sudah niat ngeres dari awal. Tempat penyeaan sekaligus sebagai pemutaran video relatif mudah ditemukan. Di tempat ini pengunjung bisa memilih, dan memutar video yang disukainya sepuasnya. Harganya biasaya di hitung perjam kunjungan.

Pornography anak

Di negara manapun, pornography anak pasti dilarang demikian juga dengan Jepang.. Bagian ini saya anggap sangat penting sehingga merasa perlu menuliskanya dalam paragrap tersendiri. Saya sedikit kurang jelas batasan anak disini. Dari tradisi perayaan Seijin Siki, seseorang dianggap dewasa setelah mencapai umur 20 tahun. Di umur ini mereka sudah boleh merokok dan minum alkohol. Namun untuk kasus pornography sepertinya umur yang di lindungi adalah dibawah 18 tahun. Entah mana yang benar, namun yang jelas, anak anak sangat dilindungi dari pornography dengan payung hukum yang sangat ketat. Orang dewasa yang melarikan anak orang yang belum genap berumur 18 tahun atau anak setingkat SMU, adalah pelanggaran hukum yang berat di negara ini. Namun tentu saja, seketat apapun aturannya pelanggaran tetap saja ada. "Tahun 2008 ada sekitar 676 kasus pelanggaran di seluruh Jepang." (sumber : The Japan Times). Suatu angka yang cukup tinggi tentu saja. Dari salah satu tayangan televisi saya melihat ada Tim khusus yang selalu mamantau pelanggaran ini. Sepertinya mereka sangat serius untuk meminimalkan kasus pornography anak dengan menangkap pelaku dan produsen ponography anak yang umum disebut "Rorikon" dalam bahasa Jepang yang merupakan singkatan dari bahasa Inggris, lolita complex.

Pornography marak, kejahatan malah rendah

Marak dan bebasanya peredaran barang barang pornography di sini ternyata berbanding terbalik dengan kecilnya prosentase angka kejahatan seksual, kasus pemerkosaan atau kehamilan remaja. Wanita tampak aman aman saja "berkeliaran" di tengah malam atau pulang kerja ataupun kegiatan lainnya. Pandangan mata nakal dan jelalatan dan gerombolan anak muda mengganggu gadis lain yang lewat di jalan tampaknya tidak umum di negara ini. Satu satunya kejahatan seksual yang sedikit umum adalah "Chikan", yaitu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan memegang bagian tubuh wanita ketika berdesakan dalam kereta api dan mengintip celana dalam wanita lewat kamera hp. Pelaku yang tertangkap, kasusnya biasanya diekspose di televisi dan sudah bisa dihukum berat dengan diberhentikan dari pekerjaanya, Nah rasain lo ! Walaupun begitu setiap tetap saja ada orang yang nekat melakukannya. Uniknya, pelakunya bukan hanya golongan atau karyawan biasa namun juga orang yang menempati posisi tinggi di perusahaan. Korbanya lagi lagi wanita.

Tanggapan orang Jepang

Melihat begitu maraknya bacaan dan tontonan porno atau dewasa, bagaimana dengan tanggapan atau pengaruh generasi muda di sini ? Dari beberapa orang yang pernah saya tanyakan disini jawabanya kadang cukup mencengangkan. Kalau ada bacaan khusus anak anak tentu juga ada bacaan khusus dewasa. Didalam masyarakat yang normal tentu juga ada sebagian kecil golongan yang tidak normal, etchi atau hentai dan tampaknya golongan ini harus diberikan tempat juga agar tidak mengganggu. Kadang pendapat itu ada benarnya juga, karena walaupun dilarang, tampaknya tetap akan dicari. Semua orang tampaknya memilih bacaan atau tontonan sesuai kebutuhan dan umurnya.

 

PENUTUP

Saya tidak bisa membuat kesimpulan apapun dari tulisan ini. Semuanya diserahkan ke pembaca untuk menanggapinya. Sebagai penutup saya hanya ingin mengajukan satu pertanyaan kecil : 

"Apa yang terjadi kalau seandainya bebebasan yang sama juga diterapkan di negara kita ?" 

Sepertinya kebanyakan orang akan memberikan tanggapan yang beragam. Jawaban atau tanggapan yang diberikan sangat tergantung dari pemahaman seseorang terhadap pornography itu sendiri.

Chikan "Kriminalitas warga Jepang Di Kereta"

Assalamulaikum Wr.Wb

Chikan terjemahan bebasnya kira kira orang yang meraba atau menggrayangi tubuh wanita (yang tidak dikenal tentu saja) tanpa ijin. Istilah ini umumnya ditujukan pada populer dilakukan di dalam kereta api dengan memanfaatklan kepadatan kereta pada saat "jam sibuk" atau "rush hour" yaitu ketika jam pergi dan pulang kerja, Kriminalitas jenis ini cukup banyak dan umum terjadi di negara ini. Di banyak tempat di dalam stasiun terpampang tulisan peringatan tentang chikan "chikan wa hanzai desu" atau chikan adalah kejahata, namun kasus baru tetap saja terjadi. Situasinya memang sangat memungkinkan terjadi karena kereta api adalah alat transportasi yang paling banyak digunakan oleh orang jepang karena praktis, murah dan juga tepat waktu. Tentu saja istilah umum, populer atau banyak tentu harus ditulis dengan tanda petik.



Kesempatan dalam kesempitan

Kepadatan penumpang pada saat rush hour memang sangat "menakjubkan". Karena membludaknya jumlah penumpang pada rush hour, membuat sebagian besar penumpang harus berdiri tanpa pegangan apapun.Tempat duduk ? sebaiknya lupakan saja. Untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika kereta berguncang atau membelok, sepenuhnya mengandalkan himpitan orang disekitarnya. Keadaan semakin sulit karena kita hampir tidak bisa merengkan kaki untuk membuat kuda kuda. Walaupun kereta datang dan pergi hampir setiap tiga menit, tatap saja seakan tidak mampu menampung banyaknya jumlah penumpang. Nah pada saat berdesakan dan berhimpitan dalam kereta seperti inilah kejahatan chikan ini terjadi.

Korban harus berteriak

Dari manual atau aturan standar yang banyak ditempel di staiun, korban diharuskan berteriak keras dan menangkap basah. Bukti yang dikuatkan oleh saksi atau penumpang lain tentu lebih baik lagi yang kemudian pelaku diserahkan dan dilaporkan ke pihak petugas stasiun. Korban yang sering mendapat pelecehan tanpa diketahui pelakunya dengan pasti juga bisa dilaporkan ke petugas, yang nantinya akan menerjunkan tim khususnya untuk memata-matai dan menjebak pelakunya. 

Kadang korban menemukan kesulitan untuk mengatakan apakah "rabaan" saat itu termasuk disengaja atau tidak. Sedikit tambahan tindakan chikan bukan hanya berarti meraba, tapi juga (maaf) mengesekkan tubuh pelaku ke tubuh korbannya. Repotnya disamping kebanyakan pelaku yang menjalankan aksinya secara tunggal dan spontanitas, kadang ada juga pelaku yang melakukannya secara berkelompok dengan cara mengurung si korban sehingga aksinya tidak bisa dilihat oleh orang disekitarnya seperti yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa baru baru ini dan berhasil diungkap oleh pihak kepolisian dengan menjebak pelakunya. Kejadian berkelompok seperti ini termasuk langka.

Tetap nekat 

Chikan dianggap sebagai kasus yang serius. Hal ini bisa dinilai beratnya hukuman yang harus diterima si pelaku, dipecat dari pekerjaan tampaknya sudah merupakan keharusan dan kasusnya pasti disiarkan melalui televisi. namun tiap tahun selalu saja ada orang yang nekat melakukannya. Pelakunya kebanyakan karyawan biasa yang melakukanya sebagai "hobby sampingan" ketika berangkat dan pulang kerja. Direktur, orang yang memiliki posisi tinggi di suatu perusahaan ataupun remaja anak sekolahanpun tidak tertutup kemungkinannya sebagai pelaku. 

Gerbong khusus wanita

Untuk meminimalkan kasus chikan ini, pihak perusahaan kereta api umumnya memberlakukan gerbang khusus wanita pada jalur jalur dan jam tertentu. Namanya juga gerbong khusus wanita, penumpangnya tentu saja women only, walaupun kadang kadang ada juga kaum pria yang salah masuk karena terburu buru ataupun bingung seperti saya contohnya. Sedangkan wanita yang nyasar ke ke "gerbong pria " bukanlah merupakan pelanggaran tentu saja. 

Salah tangkap ?

Seperti yang sudah disebutkan di atas, dalam situasi yang sangat berdesakan memang cukup sulit untuk mengidentifikasikan pelakunya. Salah tangkap kadang juga terjadi dan untuk memastikannya tentu harus dibuktikan lewat pengadilan yang tentunya memakan waktu yang tidak singkat. Tentu saja bukan merupakan situasi yang menyenangkan dituduh sebagai pelaku atas apa yang tidak kita lakukan, namun tampaknya kalau nasib lagi apes, hal itu tidak tertutup kemungkinannya terjadi. Jadi kata "ki o tsukette" atau hati hati tidak berlaku cuma untuk kaum wanita saja. Selama ini saya pribadi (sebagai pihak pria) biasanya akan selalu berusaha mencari pegangan ketika dalam kereta atau kalau keadaan tidak memungkinkan, berusaha meletakkan tangan di tempat yang sedikit tinggi dibanding tangan menggelantung lemas mencurigakan. Atau mau lebih aman lagi, hindari rush hour !

Semoga bermanfaat. Wassalamualaikum Wr.Wb

Tata krama Jepang bag 2

Etika makan

Salam Itadakimasu dan gochisosama deshita

Orang jepang biasanya mengucapkan Itadakimasu sebelum makan dan gochisosama deshita setelah makan, dengan atau tanpa mencakupkan kedua tangan di dada.Salam ini diucapkan sebagai ungkapan terimakasih kepada makanan itu sendiri, kepada petani yang menanam dan membesarkan makanan, ibu atau tukang masak yang mengolah makanan dan tentu saja sang pencipta. Jadi terima kasih diucapkan kepada semua mata rantai proses sampai makanan itu terhidang di depan kita. Ucapan ini adalah wajib khususnya ketika mendapat jamuan makan dari orang atau rekan lain, sedangkan kalau makan sendiri tentu saja tidak merupakan keharusan. 
Note : beberapa rekan beragama lain mengatakan, salam ini haram hukumnya, jadi ada baiknya dikonsultasikan dulu dengan yang lebih tahu. 

Aturan ketika makan bersama 

Makan bukan cuma sebatas urusan perut, tapi juga masalah kebersamaan, saling peduli.. Jangan asik makan sendiri, tapi cobalah bagi makanan pesanan kita sendiri ke teman makan. Tawarkan mereka beberapa bagian kecil makan yang kita pegang. Umumnya makanan akan dibagi dengan piring kecil secara merata, jadi bisa mencoba banyak variasi rasa dalam sekali makan adalah hal yang sangat disukai oleh kebanyakan orang jepang.. Usakahan menuangkan air atau teh dari pot besar ke gelas teman makan anda. Untuk jamuan dengan minuman beralkohol atau bir aturannya lebih ketat lagi yaitu jangan biarkan gelas pasangan makanan anda sampai kosong.! Segera tuangkan minuman baru kalau gelasnya mulai kosong. Walaupun anda sendiri tidak minum alkohol, karena kebetulan bertugas sebagai pengemudi atau sebab lain, aturan ini tetap perlu sebagai wujud peduli pada situasi lawan.

Jangan sampai menyisakan makanan jadi usahakan ambil makanan dalam jumlah kecil dan tambah lagi nanti kalau merasa kurang ketika makanan dalam piring sudah habis. Kebanyakan orang Jepang akan menghabiskan makanan sampai butir nasi terakhir. Menyisakan makanan adalah sangat tidak sopan bagi orang tuan rumah atau orang yang menjamu anda. Dalam lingkingan rumah makan, pelayan atau tukang masak akan menanyakan ke kita kalau makanan di piring masih tersisa banyak. Makanan yang tersisa di piring besar, masih bisa disimpan atau dimakan oleh anggota lain, sedangkan makan sisa dari piring sendiri akan terbuang percuma. Dimanapun nasi rasanya pasti sama jadi tidak ada alasan untuk menyisakannya. Makanan lain bisanya diambil dalam porsi kecil dan ditambah lagi kalau terasa kurang. Dalam lingkungan keluarga, orang yang bertugas memasak biasanya tidak merangkap sebagai pencuci piring. Jadi kalau tukang masaknya adalah sang ibu, yang bertugas mencuci piring biasanya adalah si bapak, anak atau anggota keluarga lainnya.

Menggunakan sumpit 

Jangan menancapkan sumpit di dalam cawan nasi. Jangan menyerahkan makanan secara langsung dari sumpit ke sumpit. Jangan menunjuk atau mengerakgerakan sumpit ketika berbicara. Bila mengambil makanan dalam piring besar, gunakan sumpit atau sendok yang telah tersedia, atau gunakan ujung sumpit lainnya (batang sumpit). Jangan meninggalkan sumpit terbenam dalam kuah atau makanan tapi taruh berjajar di atas piring atau di tempat dudukanannya.

Aturan mandi

Mandi pun ada aturannya ? Lha, mau dibilang apa, karena begitulah kenyataanya khusunya ketika kita mandi di tempat permandian umum atau dalam lingkungan keluarga. Sedikit perlu digaris bawahi adalah kata mandi yang bararti mandi gaya jepang yang disebut "ofuro" yang berarti berendam di bak mandi, sedang mandi dengan mengguyur air ke badan dengan shower ( shawa o abiru ) adalah bebas tanpa ada aturannya, asal tidak mandi sambil jingrak jingkrak menganggu orang disebelah anda.

Jangan lansung nyemplung ke bak mandi, tapi cuci badan anda sebersih mungkin terlebih dahulu, seperti mandi biasa yang umum kita lakukan. Orang Jepang biasanya menggunakan handuk kecil untuk menyikat badan selama mandi. Setelah badan bersih barulah bisa masuk ke bak mandi, jadi bak mandi hanya berfungsi untuk berendam saja. Handuk kecil untuk menyikat badan sebelumnya, jangan sampai masuk atau dimasukan ke dalam bak. Taruh di atas kepala atau di pinggir kolam untuk pemandian umum.

Untuk lingkungan keluarga atau tinggal dengan keluarga orang jepang, mandi biasanya dilakukan dengan bergilir dan orang yang mendapat giliran mandi terakhir biasanya bertugas membersihkan dan mengeringkan kamar mandi 

Menggunakan dan memasuki toilet

Jangan masuk toliet dengan sandal rumah. Gunakan sandal toilet yang sudah tersedia dan hanya dipakai ketika di dalam toilet saja. Hal ini sedikit susah tampaknya, karena letak toilet yang biasanya di dalam rumah dan mengganti sandal (lagi) ketika memasuki toilet adalah hal yang sering terlupakan. Kebiasan orang asing yang tinggal di Jepang pada umumnya adalah memakai sandal biasa masuk ke dalam ruangan toilet atau lupa melepas sandal toilet ketika keluar dan tetap memainya jalan jalan di sepanjang rumah.

Tutup kembali tutup jamban, setelah selesai dipakai. Kebanyakan jamban dilengkapi dengan listrik pemanas yang akan menjaga permukaan jamban tetap hangat ketika diduduki yang sangat berguna ketika musim dingin. Membiarkan kloset dalam keadaan terbuka akan sangat berpengaruh ke tagihan rekening listrik bulan berikutnya. Hal ini sebaiknya sedikit diperhatikan terutama ketika sedang bertamu atau menggunakan toilet tuan rumah. 

Tepat waktu dan keterlambatan

Menepati waktu adalah suatu keharusan dan berlaku di mana saja termasuk di negara kita, sedangkan keterlambatan adalah hal yang juga umum yang kadang tidak bisa dihindari. Memberikan khabar terlebih dahulu dengan telephone atau lainya adalah hal yang sangat dianjurkan. Keterlambatan tanpa khabar akan membuat rekan kita khawatir dan membiarkan situasi rekan dalam rasa khawatir seperti ini (tanpa pemberitahuan) adalah suatu kesalahan besar. Dalam hubungan bisnis berlaku aturan yang lebih ketat lagi. Hampir semua jenis keterlambatan tidak bisa ditolerir. Sistem transportasi Jepang yang sangat modern membuat alasan klasik seperti kemacetan hampir tidak mungkin.

Membuang sampah

Sebelum dibuang, sampah dipisah menurut jenisnya dan dibuang sesuai jadual hari yang telah ditentukan. Ini tentu merupakan aturan dasar yang pasti diketahui oleh kebanyakan orang yang tinggal di Jepang. Beberapa aturan lain yang kurang populer adalah sebagai berikut. 

Selain toilet peper, dan kotoran tubuh, benda aneh lainya tidak boleh dibuang ke saluran toilet. Anda bisa didenda kalau saluran air sampai tersubat dan anda ketahuan melakukannya. Kesalahan (kecil) seperti ini bisa jadi berakibat fatal khususnya untuk penghuni apartement terlebih lagi kalau permasalahan itu terjadi di lantai dasar karena berpengaruh ke seluruh penghuni di atasnya. Rambut sangat berpotensi menyumbat saluran pembuangan air di kamar mandi, jadi pakailah saringan kecil untuk menyaring rambut dan kotoran lain. Minyak goreng bekas sisa memasak tidak boleh langsung dibuang ke lobang air tapi gunakan tissue dan me-lapnya terlebih dahulu dan membuang tisu berminyak ini ke tempat sampah biasa.

Demikianlah ranguman yang bisa saya buat tentang etika dasar pergaulan sehari hari orang Jepang atau tinggal di Jepang. Etika dasar lainya, kalau terlewatkan akan saya tambahkan lagi nanti.