Minggu, 21 Juni 2009

Kejahatan seksual di Jepang bag 1

Pertanyaan tentang apakah pornografi terkait dengan tindak pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya telah diajukan oleh berbagai masyarakat berbeda dalam berbagai kurun waktu. Di Amerika Serikat, ada hasil kajian yang dilakukan oleh sebuah komisi yang dibentuk oleh Presiden Lyndon B. Jhonson (Komisi Pornografi, 1970). Hasil kajian komisi ini menyatakan bahwa bahwa tidak terlihat adanya kaitan yang jelas antara pornografi dengan tindak pemerkosaan ataupun kejahatan seksual lainnya yang dilakukan oleh anak muda ataupun orang dewasa. Mengikuti jejak dari komisi 1970 tersebut, pada tahun 1986 komisi kejaksaan agung Amerika Serikat mengeluarkan laporan mereka tentang pornografi (Meese, 1986). Dibentuk pada tahun 1984 oleh perintah dari Presiden Reagan, komisi ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan komisi 1970. Komisi ini menyimpulkan bahwa 'keterpaparan terhadap materi-materi pornografi secara substansial. memiliki hubungan sebab-akibat dengan tindakan-tindakan kekerasan seksual yang bersifat anti-sosial' . Namun, berbeda dengan komisi kepresidenan sebelumnya, komisi kejaksaan agung ini dibentuk untuk tujuan politik, bukan ilmiah. Anggota komisi ini umumnya bukanlah ilmuwan, tidak melakukan penelitian sendiri dan tidak menugaskan pihak lain untuk melakukannya. Komisi tersebut hanya mengumpulkan kesaksian dari pihak-pihak yang pandangannya mereka duga memang sejalan dengan pandangan mereka sendiri, serta tidak mewawancarai pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka (Lynn, 1986, Nobile & Nadler, 1986; Lab, 1987) . Laporan minoritas (Minority Report) (i) komisi Messe ini - yang ditulis oleh dua dari tiga orang perempuan di dalam keanggotaan panelnya, satu orang di antaranya memiliki pengalaman luas dalam penelitian tentang perilaku seksual - tidak bersetuju dengan laporan mayoritas yang dikeluarkan komisi tersebut. Laporan minoritas ini mengatakan bahwa laporan komisi Messe tidak sesuai dengan data ilmu pengetahuan sosial yang terkumpul (Messe, 1986). Kajian-kajian skala nasional tentang topik sama yang dilakukan di kemudian hari juga tidak dapat menemukan bukti yang kuat tentang kaitan antara tingkat pemerkosaan nasional dengan ketersediaan materi pornografi dalam bentuk majalah (Baron and Strauss, 1987) atau dengan keberadaan bioskop untuk dewasa dalam satu komunitas tertentu (Scott and Schwalm, 1988; Winick & Evans, 1996).

Di Inggris, sebuah komite yang dibentuk secara swasta (Amis, Anderson, Beasley-Murray, et al., 1972), mencoba mengkaji situasi pornografi domestik di Inggris dan menyimpulkan bahwa materi-materi semacam itu memiliki dampak buruk terhadap moral publik. Komisi ini juga mengabaikan bukti-bukti ilmiah denga tujuan memberikan perlindungan terhadap 'barang-barang publik' (public goods) dari hal-hal yang dapat 'merusak dan mendegradasikan moral' manusia. Namun, sebuah Komite Resmi (Morisson) yang dibentuk oleh Kerajaan Inggris, pada tahun 1979 menganalisa situasi yang terjadi dan melaporkan (Home Office, 1979) bahwa: Dari apa yang kami ketahui tentang perilaku sosial dan telah kami pelajari dari penelusuran kami, kami percaya bahwa peranan dan pengaruh pornografi cenderung kecil dalam mempengaruhi masyarakat kita. Kesimpulan selain ini. terlalu membesar-besarkan masalah pornografi (hal. 95). Ulasan McKay dan Dolff (1984) untuk Departemen Kehakiman Kanada, mengemukakan hal yang pada intinya sama, yaitu bahwa: "Tidak ada bukti yang dihasilkan dari penelitian sistematik yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara pornografi dengan kondisi moral masyarakat Kanada. [demikian pula tidak ada] yang menunjukkan bahwa kenaikan angka statistik bentuk-bentuk perilaku menyimpang tertentu, dalam hal kecenderungan meningkatnya statistik angka kejahatan (misalnya angka peristiwa pemerkosaan) , memiliki hubungan sebab-akibat dengan pornografi." Di Kanada, Komite Frazier pada 1985, setelah memeriksa ulang bukti-bukti yang ada, mengatakan bahwa data yang telah dikumpulkan oleh komite sebelumnya disusun dengan demikian buruk sehingga tidak ada rangkaian bukti yang konsisten yang dapat digunakan untuk mengutuk pornografi (Kanada, 1985, hal.99).

Pemerintahan negara-negara Eropa dan Skandinavia yang melakukan kajian untuk mencari tahu kaitan antara pornografi dengan kasus pemerkosaan dan serangan seksual, menemukan bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat yang jelas di antara keduanya(Kutchinsky , 1985a, 1991). Untuk negara-negara seperti Denmark, Jerman Barat dan Swedia - tiga negara yang memiliki cukup data pada masa tersebut - Kutchisnky menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya kuantitas pornografi, angka pemerkosaan di negara-negara tersebut menurun atau relatif tetap. Menurut Kutchinsky, hanya di Amerika Serikat saja, di dekade 70 hingga awal 80an, ada peningkatan angka kasus pemerkosaan seiring dengan meningkatnya kuantitas pornografi (Kutchinsky, 1985a, 1991). Namun, Kutchinsky juga mencatat bahwa perubahan metode pencatatan kasus-kasus pemerkosaan mungkin adalah penyebab peningkatan angka kasus-kasus tersebut. 

Mengingat volume dan intensitas debat yang tinggi di Eropa dan Amerika Serikat tentang hubungan antara pornografi dengan kejahatan seksual, maka penting untuk melihat bagaimana kondisi negara-negara di luar negara-negara Barat dalam hal perbandingan antara ketersediaan SEM (Sexually Explicit Material - materi seksual eksplisit) dengan angka pemerkosaan dan kejahatan-kejahatan seksual lainnya. Jepang, sebuah komunitas budaya Asia dengan tradisi panjang dominasi laki-laki dan ketertundukan perempuan, serta masa 13 tahun pelegalan prostitusi di periode pasca Perang Dunia II, menawarkan kerangka kebudayaan yang kontras dengan Amerika Serikat maupun negara-negara barat lainnya yang pernah dikaji sebelumnya. 

Di Jepang, terjadi peningkatan kuantitas yang jelas dalam pornografi dalam dekade sekarang (makalah ini ditulis pada tahun 1999 - penj.). Kelompok-kelompok konservatif dan media menyerukan agar pemerintah mengambil tindakan untuk menghentikan gelombang pasang pornografi yang mereka persepsikan sedang terjadi. Sebagai contoh, para warga negara di prefektur Wakayama menuntut agar pemerintah mengendalikan manga-manga dengan konten seksual eksplisit yang ditujukan untuk anak-anak (Mainichi-shinbun, 1990).

Saat ini di Jepang, buku-buku, majalah, dan kaset video dengan konten seksual eksplisit, yang mencoba membangkitkan berbagai ketertarikan erotis dan sebagainya, dapat didapatkan dengan mudah. Termasuk di antara hal-hal tersebut adalah manga-manga berisi konten seksual yang tidak dibatasi oleh kategori usia. Bilik-bilik telpon umum dan koran-koran berisikan iklan-iklan mengenai jasa layanan seksual dengan berbagai bentuk. Walaupun demikian, pornografi modern seperti ini, terhitung masih cukup baru. Pada dasarnya, beberapa saat setelah Perang Dunia II - ditandai dengan penguasaan militer Amerika Serikat hingga tahun 1951 - ada larangan untuk menyebarkan SEM. Kebijakan ini masih terus dipertahankan di bawah pemerintahan Jepang hingga akhir dekade 80an; penggambaran ketelanjangan secara frontal dilarang, dan juga penggambaran bulu-bulu kelamin dan ataupun alat kelamin. Akibatnya, tindakan-tindakan seksual juga tidak boleh digambarkan secara jelas. 

Situasi tersebut mengalami perubahan drastis di dekade sekarang (artikel ini ditulis tahun 1999, penj). Walaupun hukum-hukum yang ada tidak berubah, interpretasi terhadap hukum-hukum tersebut berubah. Para hakim di periode ini semakin lama menjadi semakin liberal dalam membolehkan pornografi dalam skala yang lebih besar untuk dianggap sebagai 'patut' (not obscene). Senada dengan hal ini - seperti halnya terlihat dalam pemberitaan luas kasus pemerkosaan seorang gadis Okinawa oleh para tentara Amerika di tahun 1995 - kasus-kasus pemerkosaan semakin dipandang sebagai masalah serius di jepang (Anonymous, 1995). Oleh karena itu, analisa tentang tahun-tahun tersebut, yang sarat dengan berbagai perubahan cepat, penting dilakukan. 

Kajian kali ini terutama tentang tindakan pelanggaran hukum seperti pemerkosaan, serangan seksual dan public indecency (tindakan tidak patut di depan publik) di Jepang, dan mencoba mengalisa bagaimana hal-hal tersebut terkait dengan peningkatan materi-materi seksual yang eksplisit. Sebagai perbandingan dan juga sebagai alat 'kontrol', kita juga akan melihat angka kejahatan non-seksual dan pembunuhan yang terjadi pada periode yang sama. Kita akan melihat terutama pada dampak yang mungkin terjadi pada remaja sebagai akibat ketersediaan materi-materi pornografi secara luas.

Metodologi

Periode yang dipilih untuk pengkajian ini adalah masa 23 tahun dari 1972 hingga 1995. Ini adalah tahun-tahun dimana data-data resmi dari Jepang tersedia. Sebelum 1972, metode pengumpulan data dan definisi untuk kejahatan seksual yang digunakan di Jepang berbeda secara signifikan dengan metode dan definisi yang digunakan sekarang. Dengan demikian data-data dari masa tersebut tidak cocok untuk dibandingkan. Periode 72-95 juga meliputi periode saat Jepang mengalami transisi dari negara yang hukumnya (atau lebih tepatnya: interpretasi terhadap hukum) terkait pornografi bersifat cukup ketat menjadi negara yang metode penyensorannya saat ini dapat dikategorikan sebagai permisif. 

Definisi

Terminologi pornografi, pemerkosaan, serangan seksual dan semacamnya adalah terminologi- terminologi yang tidak hanya digunakan secara populer, namun juga digunakan sebagai istilah hukum. Untuk memudahkan diskusi selanjutnya, pornografi didefinisikan secara luas sebagai materi dengan konten seksual eksplisit (sexually explicit material/SEM) yang dikembangkan atau diproduksi terutama untuk membangkitkan ketertarikan seksual atau untuk memberikan kenikmatan erotis. Pornografi bisa ada di media apa pun dan bisa bersifat legal atau ilegal. Di Jepang, sebagaimana di Amerika Serikat, semua SEM yang bersifat ilegal dianggap pasti bersifat obscene (tidak patut). Produksi atau penyebaran material-material semacam ini dianggap sebagai kegiatan ilegal. Setiap prefektur dapat, dengan peraturannya sendiri, memodifikasi hukum yang berlaku pada orang berusia di bawah 18 tahun. Dalam aplikasinya, pornografi secara nasional adalah yang menampilkan apa yang disebut sebagai hard-core erotica (ii), namun hingga dekade 70 dan masuk ke 80an, termasuk dalam pornografi adalah material-material yang mengggambarkan alat kelamin, bulu kelamin, dan ketelanjangan penuh. Penggambaran kegiatan seksual dalam materi-materi pendidikan atau benda kesenian mungkin dapat dianggap sebagai pornografi. Walaupun demikian sikap publik dan pejabat berwenang mengenai materi-materi kesenian dan pendidikan ini secara bertahap mengendur dari sejak 1970an. Terutama pada tahun 1990 dan 1991, perubahan besar mulai terlihat terjadi dalam hal bagaimana hukum tentang pornografi diinterpretasikan; semakin lama semakin sedikit material yang dilaporkan sebagai material yang 'tidak patut', dan lebih sedikit lagi yang akhirnya ditetapkan secara hukum sebagai 'tidak patut'. Alasan terjadinya perubahan ini masih belum jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar