Minggu, 21 Juni 2009

Kejahatan seksual di Jepang bag 2

Jepang tidak menggunakan sistem juri dalam peradilannya. Keputusan terakhir material mana atau tindakan apa yang dapat dikategorikan sebagai kriminal umumnya ditentukan oleh sebuah panel yang terdiri dari tiga hakim. Di Jepang, hukum berlaku secara nasional, namun seringkali diinterpretasikan secara regional; hakim-hakim di daerah perkotaan umumnya lebih kendur dalam masalah pornografi daripada hakim yang berada di daerah pedesaan. Sebagai upaya penyeragaman hukum, kurang lebih setiap tiga tahun sekali para hakim dirotasikan ke prefektur-prefektur yang berbeda. Sebagaimana di negara-negara lain, pengambilan keputusan tentang sebuah tindakan kriminal pertama-tama dilakukan di tingkat paling bawah, misalnya oleh polisi lokal atau oleh agen-agen lainnya. Demikian pula halnya dengan materi yang bersifat obscene ini. Materi yang diduga sebagai obscene biasanya akan disita terlebih dahulu dengan asumsi bahwa penetapan status obscenenya akan dilakukan belakangan. 

Hukum Jepang mengenali 6 jenis kejahatan seksual (Roposensho, 1989). Kejahatan-kejahatan ini adalah sebagai berikut: 1) Public indecency (tindakan tidak patut di depan publik) [pasal 174], yang merujuk pada perilaku yang menunjukkan alat kelamin di depan publik; kejadian-kejadian yang 'melanggar batas moralitas publik.' Saat ini, pasal ini sering digunakan terhadap bioskop-bioskop porno yang oleh pihak berwajib dianggap sering mencoba menguji batas-batas kesopanan Selain itu, pasal ini juga digunakan untuk perilaku-perilaku seperti flashing (iii) dan mengintip. 2) 'Ketidakpantasan' [Pasal 175] adalah tindakan atau materi erotis-seksual yang persiapannya, pendistribusian, dan penjualannya dapat menyebabkan 'hilangnya atau runtuhnya akal sehat" orang. 3) Serangan Seksual [Pasal 176] didefinisikan sebagai ancaman atau pemaksaan untuk peristiwa seksual yang setingkat dibawah pemerkosaan. 4) Pemerkosaan [Pasal 177] adalah penetrasi, betapa pun sedikitnya, alat kelamin wanita oleh alat kelamin perempuan. Tidak ada pasal yang menjelaskan tentang pemerkosaan terhadap laki-laki. 5) Constructive Compulsory Indecency and Rape (Pasal 178) adalah tentang pelanggaran hukum dimana seorang individual dianggap melakukan pemerkosaan oleh keputusan hukum (statutory offense) karena korbannya, sebagai akibat keterbatasan mental atau fisiknya, dianggap tidak bisa memberikan persetujuan yang sepatutnya. Dalam kasus seperti ini, korban bisa laki-laki atau perempuan. 6) Percobaan serangan seksual, percobaan pemerkosaan, atau percobaan statutory rape [pasal 179] diterapkan pada percobaan serangan seksual atau pemerkosaan yang tidak berhasil dilakukan. Korban percobaan pemerkosaan hanya berlaku untuk perempuan, sedangkan korban percobaan serangan seksual dapat berlaku untuk laki-laki atau perempuan. 

Materi Pornografi 

Jumlah pasti materi pornografi yang tersedia saat ini atau di masa lalu sangat sulit untuk diketahui. Berbeda dengan statistic kejahatan seksual, data-data tersebut tidak dikumpulkan secara akurat oleh agen pemerintah atau agen swasta mana pun di Jepang. Banyak, jika tidak mayoritas, pembuat atau distributor pornografi adalah perusahaan-perusaha an sah yang menutup baik-baik rahasia angka produksi mereka sebagai bagian dari rahasia komtersial. Namun, di Jepang, cukup aman untuk dikatakan bahwa definisi apa pun yang digunakan tentang SEM dan pornografi, saat ini material semacam ini lebih banyak jumlahnya daripada pada 1970 dan 1980an. Indikasinya adalah jumlah dan jenis-jenis barang semacam itu telah bertambah seiring dengan waktu, diukur baik oleh angka produksi maupun dalam nilai yen. Jika dimungkinkan, saya akan memberikan angka-angka yang pasti tentang jumlah ataupun tipe materi pornografi atau SEM. Apabila tidak memungkinkan, saya akan memberikan deskripsi dan pengukuran kualitatif. 

Data Kejahatan Seksual

Data jumlah laporan kejahatan seksual di Jepang diambil dari Roposensho, Kepolisian Nasional Jepang (Japanese National Police Agency/JNPA) . Agensi ini serupa dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) di Amerika Serikat. JNPA telah menyimpan statistik kejahatan di Jepang sejak tahun 1948. Pada dasarnya, mereka mengumpulkan laporan tahunan dari 48 prefektur di Jepang. Catatan kejahatan resmi ini didasarkan pada laporan-laporan dari investigasi independen kepolisian. Dalam periode kajian makalah ini, tidak ada perubahan yang diketahui dalam hal pengumpulan dan pencatatan data di JNPA. 

HASIL-HASIL
HASIL-HASIL
Ketersediaan Material Pornografi

Ada banyak indikasi yang menunjukkan bahwa jumlah pornografi di Jepang mengalami peningkatan pada periode 1972-1995. Berdasarkan "Peraturan Perlindungan Remaja" yang diformulasikan oleh masing-masing prefektur di seluruh Jepang untuk mereka masing-masing (kecuali prefektur Nagano), diadakan pengumpulan data tentang benda-benda yang "dianggap merusak anak remaja". Benda-benda yang dimasukkan dalam daftar tersebut tidak diperbolehkan untuk dijual atau didistribusikan kepada mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun. Statistik ini dikumpulkan oleh petugas lokal, dan berisikan data tentang film-film dengan adegan seksual yang eksplisit, buku-buku, majalah-majalah dan video tape. Data-data ini setiap tahun dikirimkan ke Pejabat Kepemudaan di Somicho (Agensi Manajemen dan Koordinasi Pemerintah). Benda-benda yang terdaftar di situ bertambah jumlahnya dari 20.000 buah pada tahun 1970, hinga sedikit di atas 37.000 pada tahun 1980, kemudian menjadi 41.000 pada tahun 1990, hingga kemudian mencapai kurang lebih 76.000 pada tahun 1996, tahun terakhir data yang ada. Sejak tahun 1989 peningkatan terbesar material semacam itu disebabkan terutama oleh video-video dengan adegan seksual yang eksplisit. Walapun ada kategori-kategori pembatasan penonton, materi ini sebenarnya dapat dilihat oleh siapa pun dari kelompok usia berapa pun. 

Di 1991, pemerintah daerah dari 21 Prefektur menentukan 46 penerbitan berorientasi sex sebagai penerbitan yang 'merusak generasi muda' dan mengirimkan keluhan atas mereka kepada para penerbit. (Burril, 1991). Perusahaa-perusahaa n yang terlibat menerima kritikan yang muncul dan "Dewan Etika Penerbitan" dalam industri tersebut sepakat untuk melakukan penertiban masing-masing dan menasihati para perusahaan anggotanya untuk mencantumkan tanda "Komik Dewasa" di manga-manga berorientasi seksual (Anonymous, 1991a). Dewan tersebut juga mengusulkan lebih lanjut agar para distributor meletakkan komik-komik semacam ini di "adult corner" di toko masing-masing. Usulan ini belum tentu dituruti. Penjualan komik-komik bermuatan seks ini bernilai lebih dari \ 180 juta pada tahun 1990, naik 13 persen dari tahun sebelumnya (Burril, 1991). 

Produksi film cinta klasik Jepang Ai no Corrida ("Dalam Wilayah Rasa") dilarang di dalam Jepang karena konten ketelanjangan dan erotis di dalamnya. Film ini oleh Nagisa Oshima diproduksi di Perancis pada 1976 dan dengan segera menjadi sensasi di festival-festival film di New York dan Cannes. Namun, pada saat pertama kali ditayangkan di Jepang pada bulan Oktober 1976, film iin dengan segera disita oleh pihak yang berwajib. Film ini di dasarkan pada kisah nyata yang terkenal. Walaupun demikian, film tersebut - diantaranya memberikan gambaran sangat menaruik tentang Asphixiophlilia -tetap diangap terlalu vulgar utuk dilihat oleh publik Jepang. Produser dan penulis scenario dipanggil ke pengadilan dan dituntut karena 'tindakan yang tidak patut', namun akhirnya diputuskan tak bersalah (Okudaira, 1979; Oshima, 1979; Uchida, 1979). Versi yang telah disensor akhirnya dirilis belakangan. Ketelanjangan penuh akhirnya diperbolehkan untuk muncul di film untuk pertama kalinya pada tahun 1986 dalam Festival Film Tokyo (Downs, 1990). 

Buku teks universitas tentang seks berjudul Sexual Decisions (Diamond & Karlen, 1980) diterbitkan dalam bahasa Jepang pada tahun 1985 (Diamond & Karlen, 1985). Gambar-gambar posisi seksual dan lain-lainnya baru diperbolehkan setelah buku tersebut diedit dengan mengurangi ilustrasi yang menggambarkan rambut dan alat kelamin. Itu adalah teks pertama tentang seks di tingkat universitas di Jepang. Buku kumpulan foto seni yang pertama yang menampilkan ketelanjangan perempuan secara terang-terangan diterbitkan juga pada tahun 1985 (Downs, 1990). Buku SexWatching, yang ditujukan untuk umum memiliki ilustrasi 300 gambar, diterbitkan di Inggris pada tahun 1984 (Diamond, 1984), dan diterbitkan di Jepang pada tahun 1986 (Diamond, 1986). Lagi, beberapa ilustrasi aslinya yang dianggap sebagai kategori menengah di Amerika Serikat dan di Inggris, harus diganti dengan gambar-gambar lain yang sedikit lebih tidak mencolok. 

Perubahan dari sikap konservatif pada tahun 60an, 70an dan awal 80an mulai terjadi secara massif pada akhir 80an dan awal 90an. Majalah-majalah seperti Playboy dan Penthouse, yang menampilkan rambut kelamin, dilarang sama sekali di Jepang sampai tahun 1975. Selepas masa tersebut, gambar-gambar seperti itu diperbolehkan untuk masuk ke Jepang jika gambar-gambar tersebut di tutupi atau diburamkan. Larangan awal yang tidak memperbolehkan penampakan rambut kelamin diterapkan begitu rutinnya sehingga sejumlah pengamat yang objektif mengatakan bahwa standar kepantasan tersebut kadang-kadang menghalangi distribusi karya-karya seni yang serius, sementara di lain pihak tidak lagi efektif mengatasi semakin banyaknya materi-materi dengan konten seksual eksplisit (Anonymous, 1992). Di bulan Juni 1991, the Japan Times mengambarkan gelombang masuk komik-komik porno ke dalam pasar sebagai pertumbuhan pesat dari "penggambaran gairah seksual yang menyimpang dan kekerasan, dan juga pelecehan perempuan, dengan cara dan detail yang memuakkan, bahkan walaupun tanpa menampakkan rambut kelamin." (dikutip dalam Woodruff, 1991). Hampir bersamaan, Koran Asahi Shimbun mencatat bahwa polisi tidak lagi akan menghukum gambar-gambar 'bulu kelamin' dengan alasan 'ketidakpatutan' , karena kecenderungan yang ada di masyarakat menerima gambar-gambar seperti ini. Asahi kemudian menyimpulkan bahwa "keputusan (untuk tidak menghukum) ini menunjukan bahwa gambar (yang menampilkan) bulu kelamin tidak lagi dianggap sebagai standar utama dalam menilai ketidakpatutan" (Woodruff, 1991). 

Pada awal 1980an, kaset-kaset pornografi di Eropa dan Amerika seringkali disita sebagai produk terlarang dari orang-orang yang baru berkunjung ke luar negeri oleh agen-agen beacukai Jepang (Abramson & Hayashi, 1984). Materi-materi ini disita secara rutin. Sekarang kaset-kaset semacam itu diproduksi secara lokal dan tersedia di toko-toko Jepang. Seringkali kaset-kaset di dalamnya menampilkan aktor dan aktris yang baru saja melewati batas usia legal minimal (legal-minor) . 

Pada tahun 1989, sebuah survey tentang manga di toko-toko buku dan stand-stand majalah yang diselenggarakan oleh sebuah kelompok relawan, "Biro Warga Negara dan Kebudayaan Tokyo", menemukan bahwa lebih dari separuh cerita-cerita (dalam manga) tersebut menggambarkan peristiwa seksual. Mereka melaporkan: "Dalam banyak kasus, karakter perempuan (dalam cerita-cerita tersebut) diperlakukan hanya sebagai objek seksual untuk memenuhi kepuasan laki-laki." (Anonymous, 1991a). 

Kemudian juga di 1989, sebuah laporan oleh "Institut Penerbitan Penelitian Ilmiah" di Jepang menyajikan data statistik untuk kuantitas produksi penerbitan legal di Jepang. Dalam data tersebut, Playboy dan Penthouse tercatat sebagai majalah laki-laki dewasa dengan angka penjualan terbaik. Angka penjualan setengah tahunan Playboy berkisar di di angka 900,0000 eksemplar untuk setiap edisi yang dikeluarkan pada tahun 1977. Selain itu, Nilai bulanan majalah dengan konten seksual meningkat dari \ 3.264 juta di tahun 1984 menjadi \ 3.665 juta pada tahun 1988 (Shupan Nenkan, 1988, 1997). 

Pada bulan Februari 1991, Partai Demokratik Liberal meminta agar para anggotanya untuk meluncurkan undang-undang yang mengatur manga dengan konten seksual yang eksplisit (Anonymous, 1991a). Mosi tersebut gagal, namun keberadaannya menunjukkan bahwa peningkatan material pornografi telah menimbulkan keprihatinan sosial yang luas. Pada tahun tersebut, sebuah survey ("Survei tentang Komik di antara Generasi Muda") yang dilakukan oleh "Asosiasi Pendidikan Seksual Jepang" (JASE, 1991) menemukan bahwa 21,6% siswa laki-laki dan 7,6% siswa perempuan dari sekolah menengah membaca 'komik porno' secara regular. Pada tahun 1993, survey yang dilakukan oleh Somucho (Agensi Manajemen dan Koordinasi Pemerintah) menemukan bahwa 50% siswa laki-laki dan 20% siswi perempuan sekolah menengah pertama dan atas secara rutin membaca 'komik porno'. 

Indeks lain tentang material yang terkait seks yang tersedia di Jepang mungkin dapat terlihat dari jumlah industri terkait sex (fuuzoku kanren eigyou) yang terdaftar dan diawasi oleh polisi. Industri ini misalnya strip theatre, hotel cinta/hotel jam-jaman (yang kamarnya bisa disewa dalam unit per-jam), toko sex dewasa (untuk pembelian materi pornografi atau benda-benda lain yang terkait dengan aktivitas seksual), dan "soap land" ('negeri sabun', yaitu jasa layanan seksual dalam bentuk panti pijat dan sebagainya). Pihak berwenang menggunakan statistik ini untuk memantau potensi pengaruhnya terhadap generasi muda. Menurut statistik J.N.P.A (Kantor Kepolisian Jepang), pada tahun 1972 ada 7.500 usaha industri semacam itu, dan pada 1995 ada sekitar 12.600 usaha. Segmen terbesar dari industri jasa ini adalah "Panti Pijat" yang dalam operasinya seringkali menawarkan jasa layanan seksual. Saat ini, ada juga tipe " Body Shampoo Parlour" (Roposensho, 1995). 

Jasa layanan telepon seksual juga semakin lama semakin umum. Pada 18 bulan pertama jasa layanan ini mulai dibuka, sebuah jasa layanan informasi bisnis komersil, "Dial Q2", yang sebelumnya hanya menyediakan jalur informasi untuk hasil pertandingan olahraga, iklan, dan panduan kesehatan, pada tahun 1991 mengalihkan lebih dari seperempat jalur layanan telponnya ke layanan telepon seks (Anonymous, 1991b). Jasa layanan ini menjadi jasa layanan yang sangat populer hingga sekarang, bahkan walaupun setiap orang yang hendak bergabung diwajibkan untuk membuat permintaan khusus dahulu sebelumnya. "Klub-klub Telpon" juga semakin banyak bertambah. Di klub-klub tersebut, para laki-laki akan menunggu telpon dari para anggota perempuan. Nomor yang akan ditelpon oleh para gadis tersebut, diiklankan bebas pulsa; pengelola juga menjanjikan 'keasikan' dan 'percintaan' melalui jasa layanan tersebut. Jasa layanan ini juga seringkali dimanfaatkan sebagai sarana kontak bagi para PSK dengan pelanggannya. Jasa ini juga menimbulkan kekhawatiran sosial yang besar karena survey-survei informal menunjukkan bahwa seperempat siswi SMA ternyata pernah melakukan kontak melalui sebuah klub telepon. 

Pada tahun 1992, pihak berwenang kadang-kadang menuduh pihak majalah atau koran untuk public indecency jika mereka menampilkan gambar telanjang, atau menampilkan gambar-gambar yang menunjukkan alat kelamin atau rambut kelamin. Namun demikian, tindakan-tindakan penyitaan oleh polisi menjadi semakin jarang dan pengambilan tindakan juga semakin tidak konsisten. Anehnya, serangan hukum semacam ini justru cukup sering terjadi jika gambar yang dipermasalahkan adalah jelas-jelas merupakan sebuah karya seni (Anonymous, 1992). Namun pada tahun 1993, pelarangan-pelarang an seperti itu menjadi jarang. 

Pada tahun 1993, Shukan Post menjadi majalah dengan penjualan tertinggi di jepang. Hal ini tampaknya disebabkan karena adanya foto-foto yang memperlihatkan sekilas rambut kelamin, foto-foto gadis telanjang, dan artikel-artikel tentang seks. Sirkulasi majalah tersebut melonjak dari 850.000 dari semester pertama tahun 1993, menjadi 867.000 pada semester pertama 1996. Popularitasnya mendorong dua majalah lain yang muncul belakangan, yang menampilkan konten seksual yang lebih eksplisit lagi: Shukan Bunshum dan Shukan Shincho. Pada tahun 1995, majalah-majalah ini memiliki angka penjualan mingguan di atas 600.000 eksemplar (Shuppan Nenkan, 1997). 

Sikap publik terhadap pornografi dapat terlihat dari jumlah kasus yang ditangani polisi dalam kategori "pendistribusion materi-materi yang tidak patut". Namun, walaupun angka SEM terus meningkat dari tahun ke tahun, penangkapan dan penindakan semacam ini terus mengalami penurun dari angka 3.298 pada tahun 1972, menjadi 702 di tahun 1995 (Roposensho, 1995). 

Saat ini, tidak hanya tampilan visual bulu kelamin ataupun alat kelamin yang muncul, namun juga penggambaran visual bermacam interaksi seksual hard-core seperti bestiality, sadomasochism, necrophilia, dan incest; Karakter yang terlibat bisa orang dewasa, anak-anak, atau keduanya. Dan mereka juga bisa ada di manga ataupun di materi bacaan dewasa. Ada "Hukum Kesejahteraan Anak" di Jepang yang melarang pelacuran anak. Namun demikian, tidak ada hukum pornografi anak yang spesifik dan SEM yang menampilkan anak-anak di bawah umur dapat ditemukan dengan mudah dan dikonsumsi secara luas. Kebanyakan tuduhan 'ketidakpatutan' yang diajukan saat ini lebih terkait pada penggambaran pemerkosaan dengan kekerasaan atau pemerkosaan massal atau film atau video yang mengggambarkan perilaku seksual yang dianggap menyimpang dan berbahaya (seperti dalam Ai no Corrida). 

Menurut satu laporan tertentu, Diet Jepang sedang mempertimbangkan membuka untuk umum koleksi buku dan majalah kategori-X, yang sebelumnya tidak bisa diakses umum dalam 30 tahun terakhir. Juru bicara Perpustakaan Diet Nasional menyatakan bahwa koleksi tersebut memperlihatkan bagaimana interpretasi pihak berwajib tentang standar kepatutan mengalami perubahan dari dekade ke dekade. Perpustakaan itu telah mengumpulkan sekitar 2.800 eksemplar buku dan majalah yang dianggap sebagai tidak patut oleh Pemerintahan Kota Tokyo dan melarang penjualannya pada kelompok usia di bawah 18 tahun. Koleksi tersebut, berasal dari material-material yang wajib didonasikan oleh para penerbit, terdiri dari novel dan komik porno, serta edisi-edisi majalah sirkulasi massal yang berisikan foto-foto telanjang (Anonymous, 1996).

Ukuran tambahan lainnya berkenaan dengan erotika di jepang adalah laporan yang disusun oleh Greenfeld (1994). Pada tahun 1994, dia menuliskan bawha kurang lebih 14.000 video "Dewasa" dibuat setiap tahunnya di Jepang dibandingkan sekitar "2500" video di Amerika Serikat. Dan rata-rata orang Jepang menonton film satu jam lebih lama dibandingkan rata-rata orang Amerika. 

Kejahatan Seksual

Data kejahatan seksual - yang secara konsisten dan rutin disimpan dalam catatan kepolisian - adalah yang tersedia dan lebih jelas dibandingkan dengan ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif lainnya tentang pornografi. Sangat jelas dari data yang ada (Tabel 1) bahwa peristiwa pemerkosaan mengalami penurunan secara dramatis dan konstan selama masa dalam kajian. Pemerkosaan telah mengalami penurunan secara progesif dari 4677 kasus dengan 5464 pelaku pada tahun 1972, menjadi 1500 kasus dengan 1160 pelaku pada tahun 1995; pengurangan sekitar dua pertiga kasus. Karakter pemerkosaan juga mengalami perubahan. Pada awal periode pengkajian lebih banyak kasus pemerkosaan dilakukan berkelompok (lebih dari seorang) disbandingkan periode-periode berikutnya. Itulah yang menyebabkan angka pelaku melebihi angka pemerkosaan yang dilaporkan. Semakin lama pemerkosaan berkelompok menjadi semakin langka. Angka pemerkosaan yang dilakukan oleh remaja juga berkurang secara signifikan. Remaja adalah pelaku 33% dari kasus pemerkosaan di tahun 1972, namun pada 1995 hanya 18% kasus pemerkosaan dilakukan oleh remaja. 

Pada periode sama, kasus-kasus serangan seksual juga mengalami penurunan dari 3.139 kasus di tahun 1972 menjadi rata-rata kurang dari 3.000 kasus per tahun di antara tahun 1975 hingga 1990. Pada tahun 1995, angka tersebut melonjak menjadi 3.644 kasus. Namun, apabila dilihat dari rata-rata per penduduk, maka sebenarnya tidak terjadi peningkatan. Selama periode tersebut, populasi Jepang telah meningkat lebih dari 20 persen, dari 107 juta jiwa pada 1970 menjadi 125 juta jiwa pada 1995 (Nihon no Tokei, 1996). Jadi, apabila jumlah total kasus tersebut dibagi dengan jumlah total penduduk, maka terlihat bahwa terjadi penurunan angka dari 0,0292 kasus per seribu penduduk, menjadi 0,0290 kasus per seribu penduduk. Perlu juga di catat bahwa pada periode ini, menurut catatan kepolisian, pengadilan mengabulkan 85% dari keseluruhan kasus perkosaan yang dilaporkan pada tahun 1972, dan kemudian meningkat menjadi 90% pada tahun 1980an, dan kemudian menjadi di atas 95% pada tahun 1990an. Hal ini mungkin karena, di tahun-tahun belakangan sang pelaku pemerkosa umumnya tidak dikenal oleh sang korban; dengan demikian lebih mudah membuktikan di pengadilan adanya elemen pemaksaan (iv). 

Data mengenai 'tindakan tidak patut di depan publik' (seperti flashing) lebih mirip dengan data mengenai pemerkosaan daripada dengan data mengenai serangan seksual. Kasus-kasus 'tindakan tidak patut di depan publik' turun sebanyak sepertiga bagian dalam periode yang sama. Mengingat peningkatan populasi yang cukup pesat pada periode sama, maka rasio kasus ini mengalami penurun hingga 50%.

Statistik polisi menggunakan kategori usia: 0-5, 6-12, 13-19, 20-24, 25-39, 30-39, 40-49, dan seterusnya. Tiga kategori usia pertama adalah kategori usia yang diasosiasikan dengan "masa sebelum sekolah", "usia sekolah dasar dan menengah pertama", dan "usia sekolah menengah atas". Kategori ini juga menunjukkan pemikiran di Jepang yang menganggap bahwa usia 20 adalah usia dimana seseorang dianggap telah dewasa secara hukum. 

Pengurangan paling dramatis dalam angka kejahatan seksual adalah ketika perhatian difokuskan pada jumlah dan usia para pemerkosa serta korban di kelompok usia muda (Tabel 2). Kami mengajukan hipotesa bahwa peningkatan material pornografi, tanpa batasan usia dan dalam komik, jika memiliki efek sampingan, akan memiliki pengaruh buruk pada kelompok usia muda. Namun kami menemukan hal yang sebaliknya terjadi. Angka pelaku kejahatan seksual remaja justru turun secara signifikan dari 1.803 pelaku pada tahun 1972 menjadi 264 pelaku pada 1995; terjadi penurunan hingga 85% (Tabel 1). Angka korban juga mengalami penurunan dalam kelompok perempuan berusia di bawah 13 tahun (Tabel 2). Pada tahun 1972, 8,3% korban adalah perempuan berusia lebih muda dari 13 tahun. Pada tahun 1995, persentasenya menjadi 4,0%. 

Pada 1972, 33,3% pelaku berusia diantara 14-19 tahun; pada tahun 1995 persetasenya menurun hingga 9,6%. Oleh karena itu, dalam periode kajian ini, ada perubahan cukup besar baik dari segi korban dan pelaku, dari usia yang lebih muda ke usia yang lebih tua. 

Terakhir, di Jepang, walaupun angka pemerkosaan total menurun, persentase pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal meningkat secara pasti dari 61,6% kasus pemerkosaan yang dilaporkan pada 1979 menjadi 79,5% kasus pada tahun 1995. Perkosaan dalam keluarga dan dalam kencan, dengan demikian, menurun secara signifikan. Selain itu juga pemerkosaan berkelompok. Pada tahun 1972, 12,3% tindak pemerkosaan oleh remaja dilakukan oleh dua atau lebih pelaku. Seiring dengan waktu, persentase itu berkurang hingga menjadi 5,7% di tahun 1995. 

Sebagai semacam alat kontrol data statistik, kami menganalisa kasus-kasus pembunuhan maupun serangan fisik non-seksual yang melibatkan kekerasan dalam periode 1972 hingga 1995 (Tabel 1). Di sini juga terlihat bahwa pengurangan secara dramatis terjadi selama periode yang sama. Kasus pembunuhan menurun hingga 40%, dan kasus-kasus serangan fisik non-seksual juga menurun hingga 60%. Namun demikian dalam kedua kategori kejahatan tersebut tidak ada pergeseran kelompok usia baik dari para pelaku maupun para korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar