Minggu, 21 Juni 2009

Kejahatan seksual di Jepang bag 3

DISKUSI

Di dalam Jepang sendiri, peningkatan dramatis dari pornografi dan SEM tampak nyata bahkan bagi para pengamat sambil lalu. Ini sangat berkaitan dengan pelonggaran larangan-larangan terhadap outlet hasrat seksual lainnya. Juga terlihat dari informasi yang tersedia bahwa selama periode bersangkutan, kejahatan seksual dalam tiap kategori, mulai dari pemerkosaan hingga public indecency, mengalami penurunan terus menerus. 

Perubahan paling signifikan adalah walaupun terjadi perluasan akses pornografi pada anak-anak, baik angka pelaku maupun korban kejahatan seksual remaja mengalami penurunan secara signifikan. 

Temuan ini mirip dengan, walaupun lebih mengejutkan daripada, temuan-temuan di negara yang mengalami peningkatan SEM yang sama seperti Denmark, Swedia dan Jerman Barat. Temuan-temuan di Eropa, pada gilirannya, lebih dramatis dari temuan lain di Amerika Serikat. Kutchinski (1991) mengkaji situasi di Denmark, Swedia, Jerman Barat dan Amerika Serikat setelah legalisasi atau liberalisasi hukum pornografi di negara-negara tersebut. Tiga negara pertama yang disebutkan berturut-turut mende-kriminalisasi produksi dan distribusi SEM pada tahun 1969, 1973, dan 1973. Di Amerika Serikat tidak ada demkriminalisasi yang meluas ataupun legalisasi pornografi, namun, sama dengan di Jepang, interpretasi hukum-hukum pornografi sepertinya mengalami perubahan dan penindakan atas SEM mengalami penurunan yang tajam. Sama dengan Jepang, ketersediaan pornografi pun juga mengalami peningkatan yang serupa. Kutchinsky mengkaji kasus-kasus kejahatan seksual dalam periode 20 tahun dari 1964 ke 1984. Dengan demikian periode kajiannya tumpang tindih dengan setengah bagian pertama dari periode kajian ini. 

Kutchinsky menemukan (1991) bahwa di Denmark dan Swedia, angka pemerkosaan hanya mengalami sedikit peningkatan, dan di Jerman Barat tidak sama sekali. Di ketiga negara tersebut, angka kejahatan seks tanpa kekerasan mengalami penurunan. Kenaikan yang kecil di Denmark dan Swedia, diduga karena meningkatnya angka pelapor sebagai akibat semakin tingginya tingkat pehaman kaum perempuan dan petugas polisi tentang masalah pemerkosaan (Kutchinsky, 1985b, pp.323). Di Jepang juga, selama periode dua dekade dalam kajian ini, mungkin hal yang sama (peningkatan pemahaman tentang tindak pemerkosaan di kalangan perempuan dan kepolisian), sehingga membuat penurunan angka pemerkosaan di Jepang menjadi lebih impresif lagi. 

Serupa dengan temuan kami di Jepang, temuan di Denmark dan Jerman Barat menunjukkan bahwa penurunan kategori kejahatan seksual paling dramatis adalah pada kategori pemerkosaan. Selain itu angka kejahatan seksual dengan korban atau pelaku remaja juga mengalami penurunan drastis. Antara 1972 dengan 1980, angka total kejahatan seksual yang dicatat oleh pihak kepolisian Republik Federal Jerman (Jerman Barat) menurun hingga 11 persen, pada saat yang bersamaan angka kejahatan total yang dilaporkan meningkat hingga 50 persen. Kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur (di bawah usia 14 tahun) juga mengalami penurunan kecil sekitar 10 persen pada periode ini. Namun terjadi penurunan lebih dari 50 persen untuk korban di bawah usia 6 tahun, dari 1.421 kasus pada 1972 menjadi 579 kasus pada 1980 (Kutchinsky, 1985b; hal. 319). 

Peneliti lain menemukan hal yang serupa. Di Denmark kasus pelecehan homoseksual terhadap anak-anak menurun hingga lebih dari 50 persen dari 75 kasus pada 1966 menjadi 20 kasus di 1969 (Ben-Veniste, 1971; hal. 254). Penurunan kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak cukup penting untuk dicatat karena di Jepang, sebagaimana di Denmark, selama periode kajian tersebut, tidak ada hukum yang melarang kepemilikan atau penggunaan secara pribadi dan non komersial penggambaran anak-anak dalam aktivitas seksual; atau yang biasa disebut "childporn" (Kutchinsky, 1985a; hal. 5). Mengingat betapa pentingnya kejahatan seksual atas anak-anak dalam pandangan dua kebudayaan tersebut, penurunan angka kasus ini lebih mewakili pengurangan angka kejahatan seksual atas anak-anak secara riil daripada kurangnya kesiapan pelaporan atas kejahatan-kejahatan semacam itu. 

Terkait dengan peningkatan pornografi, kami juga menemukan penurunan angka kasus pemerkosaan massal di Jepang. Lagi-lagi, temuan-temuan serupa juga dilaporkan di tempat lain. Di Jerman Barat, dari tahun 1971 hingga 1987, angka kasus pemerkosaan kelompok menurun 59% dari 577 kasus hingga 239 kasus. Terbalik dengan Jerman dimana angka pemerkosaan oleh orang asing menurun sebesar 33% dari 2.453 kasus menjadi 1.655 kasus (Kutchinsky, 1991; hal. 57), di Jepang angka pemerkosaan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengenal korban menurun, dan angka pemerkosaan oleh orang asing meningkat. Karena lebih besar kemungkinan pemerkosaaan oleh orang asing atau kelompok akan di laporkan daripada melaporkan pemerkosaan dalam pernikahan atau dalam kencan, temuan-temuan tersebut merepresentasikan perubahaan yang riil. Penting untuk dicatat juga bahwa polisi Jepang sangat menfokuskan diri pada upaya pencegahan pemerkosaan oleh orang asing daripada pemerkosaan dalam kencan atau oleh orang yang dikenal. 

Beberapa orang menganggap (misal: Court, 1977) bahwa berkurangnya angka kejahatan seksual yang tercatat di Jepang merefleksikan perubahan pandangan publik tentang seks yang senada dengan meningkatnya ketersediaan pornografi di masyarakat. Pandangan ini masih diragukan. Mungkin pandangan ini berlaku untuk kasus-kasus pelanggaran seksual kecil seperti public indecency, namun pemerkosaaan selalu menjadi masalah yang serius. Dapat dikatakan juga bahwa rasa enggan untuk melaporkan kasus pemerkosaan telah berkurang. Bisa juga disimpulkan bahwa semakin meningkatnya jumlah SEM membuat jauh lebih mudah bagi anak-anak atau perempuan atau mereka yang rentan menjadi korban kejahatan seksual dalam membicarakan masalah-masalah seksual pada orang tua mereka, partner, ataupun pihak berwajib, terlebih lagi mengenai tindak pelanggaran seksual. 

Faktor lain yang mendorong korban untuk melapor adalah dibentuknya unit kepolisian khusus untuk penyelidikan kasus pemerkosaan pada bulan September 1983. Unit ini sensitif pada permasalahan perempuan dan juga membuat kaum perempuan tidak lagi diperlakukan seolah-olah sebagai pihak yang bersalah. Perlakuan buruk terhadap perempuan yang diperkosa sering terjadi pada tahun 70an. Juga perubahan yang signifikan adalah bahwa Jepang, pada tahun 90an., mendirikan sebuah pusat pengaduan pemerkosaan dan layanan korban di Tokyo. Selain itu pusat-pusat perempuan juga didirikan di kota-kota besar di seluruh negeri. Pada tahun 1996, kepolisian memulai kampanye public untuk meningkatkan pemahaman publik untuk mendorong para korban kejahatan seksual agar maju ke depan dan melapor. Para pendidik seks perlu mendapatkan kredit juga atas hal ini. Pendidikan seks, K-12, telah menjadi standar dalam kurikulum di sekolah-sekolah Jepang sejak tahun 1970an. Para pendidik seks juga semakin banyak mempelajari teori pemerkosaan, pencegahan, dan pelaporan, dan membawa materi-materi tersebut ke dalam presentasi di kelas mereka. 

Umumnya diterima bahwa aplikasi hukum yang berlaku atau kekuatan-kekuatan sosial yang bermain tidak konsisten dari masa ke masa. Namun, kelemahan-kelemahan jangka pendek dalam hal pencarian, pengumpulan dan pencatatan data tidak mempengaruh trend secara keseluruhan. Walaupun demikian aman untuk dikatakan bahwa dalam masa yang cukup lama, interpretasi definisi 'kepatutan' telah melonggar yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya material yang dianggap dapat diterima dan memasuki ruang publik, sementara pada saat yang bersamaan penegakan hukum terkait tindak pemerkosaan dan pelanggaran seksual justru malah semakin tegas. Saat ini 'ijin' masyarakat terhadap kejahatan seksual semakin sedikit diberikan daripada 25 tahun yang lalu. Dan tentu saja, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa berkurangnya angka pembunuhan dan kekerasa non-seksual disebabkan keenggenan untuk melaporkan kasus-kasus semacam itu yang sebanding dengan semakin meningkatnya SEM. 

Pernah ada yang berkata bahwa "Pornografi secara historis telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jepang" (Abramson & Hayashi, 1984). Sebenarnya jauh lebih tepat mengatakan bahwa tema-tema erotik dan kesuburan telah menjadi bagian tradisional dari kebudayaan Jepang. Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta kesenian, secara sugestif dan implisit, telah memasukkan ikon-ikon dan representasi seksual tanpa malu-malu dan tanpa merasa berdosa. Di Barat, perasaan berdosa seringkali diasosiasikan dengan seks. Secara tradisional, pandangan Jepang yang seperti ini sesuai dengan tema-tema atau budaya konfusian yang mengusulkan memperkuat solidaritas keluarga dengan beranak-pinak, pentingnya untuk memberikan pendidikan seks yang layak pada anak, serta sebagai cara untuk menikmati "kehidupan yang baik". 

Pandangan ini umumnya tetap bertahan di kalangan masyarakat Jepang bahkan setelah modernisasi Jepang yang dimulai tahun 1868 melalui Restorasi Meiji. Pemerintahan di era Meiji, dalam rangka mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Barat, mulai merubah pandangan Jepang terhadap seks dengan mengadopsi nilai-nilai Barat yang lebih penuh aturan dan konservatif. Sebagai contoh, pemandian umum campur yang sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum dilarang untuk diteruskan oleh pemerintah (Dore, 1958). Peraturan ini sebenarnya diterapkan terutama di kota-kota besar, sementara di luar itu penegakannya dilakukan secara acak. Namun, ini hanyalah baian kecil dari rencana pemerintahan Meiji yang disebut wakon-yoosai (semangat Jepang dan teknologi Barat); yaitu sebuah rencana untuk mengembangkan dan memperkuat bangsa dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi barat dengan semangat dan budaya Jepang (Hijirida & Yoshikawa, 1987). 

Selama Perang Dunia II banyak pembatasan seksual yang dilonggarkan di Jepang sebagaimana halnya yang terjadi di Barat. Setelah perang, pasukan Amerika Serikat yang mengokupasi Jepang menerapkan pandangan barat tentang moralitas dan hukum. Masyarakat Jepang secara perlahan-lahan mengadopsi beberapa ide dan praktik tersebut. Pandangan wakon-yoosai mengemuka kembali (Hijirida & Yoshikawa, 1987). Ide-ide negatif tentang pornografi, yang sebelumnya asing bagi kebudayaan Jepang, diterima dan diterapkan terutama pada penggambaran visual karena benda-benda tersebutlah yang paling mungkin dikenali dan dikritik oleh orang Barat. Sedikit perhatian diberikan pada SEM yang tertulis karena orang asing kemungkionan besar tidak bisa membaca huruf Jepang dan oleh sebab itu tidak bisa menyadari dan mengkritik materi-materi semacam itu (Abramson & Hayashi, 1984). Hal-hal terkait seks lainnya yang bisa dilihat langsung umumnya cenderung sesuai dengan cara-cara Barat. Pelacuran, yang sebelumnya legal dan diterima umum, misalnya, dijadikan illegal pada tahun 1958, dan toilet serta kamar mandi publik yang terpisah dibangun untuk menggantikan fasilitas-fasilitas sebelumnya yang bersifat unisex. Yang menarik, walaupun larangan penggambaran visual yang bersifat erotik semakin lama semakin ketat, pornografi tertulis semakin lama semakin menjamur, dengan nada yang semakin bersifat risque (v) dan fetish (vi). Beberapa orang memandang ini sebagai reaksi perlawanan atas kekangan nilai-nilai feudal konfusianisme dan moralitas Barat (Kuro, 1954). Inilah hukum dan situasi yang ada pada tahun 1972, periode awal dari kajian kami. 

Pada tahun-tahun selanjutnya, kuantitas SEM meningkat.Awalnya peningkatan terjadi secara bertahap dan kemudian di akhir 80an dan memasuki 90an, peningkatan terjadi secara pesat. Tahun 90 dan 91 tampaknya menjadi penanda peningkatan ini. Terjadi perubahan besar dalam hal bagaimana pornografi diproduksi dan bagaimana hukum tentang obscenity diinterpretasikan. Semakin sedikit material yang diduga sebagai obscene dan lebih sedikit lagi hukuman yang dijatuhkan. Sekali lagi, ini sama dengan berbagai temuan di tempat lain. Di Denmark, penghapusan larangan untuk tulisan-tulisan pornografi pada 1967 adalah konsekuensi dari tindakan sejumlah penerbit yang memproduksi dan mendistribusikan materi pornografi ke pasar yang sudah menunggu, serta dari keputusan-keputusan pengadilan yang semakin lama semakin permisif (Kutchinsky, 1973b). Di Jepang, produksi SEM yang bertambah dan pelonggaran hukum sepertinya terjadi secara bersamaan, tanpa bisa ditentukan mana yang menjadi penyebab lebih dahulu. 

Jenis pornografi yang terdapat di Jepang juga sepertinya memenuhi berbagai jenis selera dan keinginan. SEM yang diproduksi memenuhi berbagai selera dan fetish yang ada, dan umumnya lebih agresif dan lebih sarat kekerasan daripada pornografi yang ada di Amerika Serikat. Selain itu jarang ada pembatasan usia dalam pembelian atau kepemilikan material-material semacam ini. Situasi ini pada dasarnya serupa dengan situasi di Denmark (Kutchinsky, 1978). Kutchinsky lebih jauh menemukan bahwa SEM yang ada semakin lama semakin berorientasi fetish dan agresif, material-material tersebut mungkin tidak banyak digunakan. Materi-materi tersebut tetap menjadi bagian terkecil dari keseluruhan pornografi yang ada. Di Denmark, Kutchinsky (1978, hal. 114) memperkirakan material-material hardcore sadomasochistic dan semacamnya, hanyalah 2% dari keseluruhan pornografi yang bisa didapat. Winick (1985) memperkirakan proporsi yang sama untuk Amerika Serikat. Gigli (1985) berargumen bahwa data Kutchinsky mungkin tidak bersikap aplikatif karena adanya perbedaan-perbedaan yang memungkinkan pornografi dengan kekerasan menjadi menjamur. Kami tidak melakukan analisa mendetail mengenai material pornografi dengan konten sadomasokhis dan kekerasan di Jepang, namun tampaknya proporsi material tersebut lebih tinggi di Jepang daripada di Amerika Serikat ataupun tempat-tempat lainnya

Kutchinsky (1973a), dalam kajian-kajiannya, menemukan bahwa angka kasus kejahatan seksual yang tidak terlalu serius adalah yang paling menurun, sedangkan angka kasus pemerkosaan yang turun paling sedikit. Kami menemukan hal yang sebaliknya di Jepang. Di Jepang, pemerkosaan turun hingga 79% sedangkan public indecency hanya turun hingga 33%. Alasan perbedaan ini masih belum jelas. Kami duga ini disebabkan elemen compulsivity (elemen 'kegilaan) yang biasanya diasosiasikan dengan pelanggaran hukum public indencecy lebih sulit dimodifikasi daripada dalam hukum pemerkosaan. Mungkin juga, angka kasus pengintipan atau flashing memang sudah kecil dari awal sehingga penurunannya pun menjadi kecil secara persentase. Rasa malu adalah kekuatan sosial yang kuat di Jepang dan bisa menjadi faktor yang sangat penting dalam mengendalikan angka kasus public indecency. 

Temuan kami mengenai kejahatan seksual, pembunuhan dan penyerangan fisik sangat sesuai dengan apa yang diketahui mengenai angka kejahatan di Jepang terkait perampokan, pencurian dan hal-hal lain yang sejenis. Jepang juga memiliki angka pelaporan terkecil untuk kasus pemerkosaan dan persentase tertinggi untuk penangkapan dan penghukuman di antara negara-negara maju. Jepang juga diketahui sebagai negara maju paling aman untuk perempuan (Clifford, 1980). Walaupun demikian, kritikus social dan kaum feminis di Jepang berpendapat bahwa kondisi masih bisa lebih baik lagi (Radin, 1996). Banyak pejuang hak perempuan berpendapat bahwa petugas kepolisian perlu lebih responsif terhadap masalah-masalah perempuan dan kaum perempuan sendiri perlu lebih berani untuk menyampaikan keluhan mereka. Namun sebenarnya, kritik ini bisa berlaku di mana saja. 

Walaupun tidak ada bukti kuat yang mendukungnya, ada mitos yang dipercaya secara meluas bahwa semakin banyak SEM akan secara otomatis menyebabkan semakin banyak aktivitas seksual serta (pada akhirnya) semakin banyak pemerkosaan (lihat Liebert, Neale, & Davison, 1973). Sebenarnya, data yang kami terima dan ulas menunjukkan hal yang sebaliknya. Christensen (1990) berpendapat bahwa dalam rangka membuktikan pornografi dapat menyebabkan kejahatan seksual, orang mesti menemukan hubungan temporal yang positif di antara kedua hal tersebut. Ketiadaan hubungan positif antara pornografi dengan kejahatan seksual dalam temuan-temuan kami, serta dalam temuan-temuan oleh orang lain, adalah bukti prima facie (utama) bahwa hubungan tersebut memang tidak ada. Namun, demi objektivitas satu pertanyaan lagi perlu diajukan: "apakah ketersediaan dan penggunaan pornografi mencegah atau mengurangi kejahatan seksual?" Kedua pertanyaan mengenai hubungan antara pornografi dan kejahatan seksual akan menghasilkan rangkaian hipotesis yang, dalam periode cukup lama, telah diuji di Denmark, Swedia, Jerman Barat dan di Jepang. Jelas dari data yang kami dapatkan tentang Jepang, sebagaimana yang ditemukan juga oleh Kutchinsky (1994) dari penelitian yang dilakukan di Eropa dan Skandinavia, bahwa peningkatan tajam SEM, selama tahun dalam kajian, tidak memiliki hubungan dengan peningkatan di angka pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya. Sebaliknya, di Jepang penurunan yang tajam justru terjadi. 

Pada umumnya dapat diterima bahwa pornografi dapat merangsang sejumlah orang secara seksual. Ada hal-hal yang menunjukkan bahwa pornografi menghasilkan ekspresi seksual yang legal, namun belum ada yang mengukur seberapa besar peningkatan yang terjadi pada aktivitas semacam itu. Pasangan suami istri mungkin saja meningkatkan frekuensi bercinta mereka, seniman mungkin saja menciptakan karya seni baru, banyak pihak yang dapat menggunakan pornografi untuk pendidikan seks, dan tidak sedikit yang menggunakan materi tersebut untuk dibaca atau untuk kesenangan melihat dan masturbasi. Semua aktivitas tersebut positif, legal dan juga membangun, atau paling tidak semuanya itu adalah outlet social yang bersifat nondestruktif. Di Jepang, sebagaimana di tempat lainnya, penerbit dan sejenisnya menyatakan bahwa kisah-kisah erotik, bahkan dalam komik, merupakan tempat pelarian diri sementara bagi orang dewasa yang merasa tercekik di tengah-tengah 'masyarakat terkontol' Jepang (Burril, 1991). 

Belum ada kajian populasi yang menunjukkan hubungan antara pornografi dengan kejahatan seksual. Ada memang laporan-laporan penelitian yang menunjukkan hubungan tersebut. Satu laporan penelitian, misalnya, menyatakan: "Retrospective recall (vi) adalah basis untuk memperkirakaan penggunaaan SEM oleh para pelaku kejahatan seksual dan non-pelaku selama masa puber, dan juga pada masa kini.. Pemerkosa dan para pelaku pelecehan seksual anak dilaporkan sering menggunakan materi-materi tersebut secara . Penggunaan materi tersebut sekarang ini sangat terkait dengan tingkat keparahan pelanggaran seksual yang mereka lakukan . (Marshall, 1988)" Namun, bukti-bukti yang disajikan dalam laporan ini, apabila dikaji lebih teliti, menunjukkan bahwa pornografi yang digunakan oleh pelaku kejahatan seksual dewasa dilihat sebelum pelanggaran itu mereka lakukan. Tidak dinyatakan secara eksplisit namun implisit dalam kajian Marshal adalah bukti bahwa pornografi umumnya tidak ada dari pengalaman sang pelaku pada masa-masa formatif mereka. 

Hal ini penting untuk dipertimbangkan. Cukup sering ditemukan, utamanya pada tahun 1960an sebelum melimpahnya SEM di Amerika Serikat, pelaku kejahatan seksual adalah mereka dengna latar belakang yang tidak terpapar pada SEM; mereka umumnya memiliki latar belakang keagamaan yang kuat dan paham social politik dapat dikategorikan sebagai paham konservatif (Gebhard, Gagnon, Pomeroy & Christenson, 1965). Sejak itu, kebanyakan peneliti menemukan hal yang serupa. Pendidikan yang diterima oleh para pelaku kejahatan seksual umumnya merepresi hasrat seksual (sexually repressive), seringkali latar belakang keagamaan mereka sangat kuat dan mereka juga memiliki pandangan yang konservatif dan kaku tentang seksualitas (Conyers & Harvey, 1996; Dougher, 1988); mereka biasanya dibesarkan dengan pendidikan ritual-moralistik serta menganut sikap yang konservatif daripada permisif. Selama masa remaja hingga memasuki masa dewasa, para pelaku kejahatan seksual umumnya tidak menggunakan materi pornografi atau erotis lebih banyak daripada orang-orang lain dan umumnya malah lebih sedikit (Goldstein & Kan, 1973, Propper, 1973). Walker (1970) melaporkan bahwa para pelaku kejahatan seksual rata-rata lebih tua beberapa tahun dari para non-kriminal pada saat melihat gambar hubungan seksual untuk pertama kalinya. 

Kebanyakan orang dari kalangan yang menangani para pemerkosa berpendapat bahwa pemerkosaan sebenarnya adalah sebuah kegiatan seksual untuk masalah-masalah non-seksual, misalnya sebuah kekalahan atau rasa frustasi yang dialami di tmpat kerja bisa menjadi pendorong untuk melakukan pemerkosaan (Groth, 1979). Orang lain melihat bahwa pemerkosaan adalah ekspresi kekuasaan (Groth, Burgess dan Holstrom, 1977). Goldstein dan Kant menyimpulkan bahwa 'sedikit sekali' pelaku kejahatan seksual yang mereka wawancarai yang mendapatkan pengaruh cukup besar dari pornografi. "Stimulus yang jauh lebih kuat" bagi para pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang nyata di lingkungan mereka (Goldstein & Kan, 1973; Lynn, 1986). Ahli dari Denmark, termasuk para kriminolog feminis yang mempelajari pemerkosaan di Denmark, jug sepakat bahwa tidak ada hubungan antara pornografi dan pemerkosaan (Kutchinsky, 1985a, hal. 12). 

Nicholas Groth, seorang spesialis untuk perawatan bagi para pelaku kejahatan seksual, pernah menulis "tindak pemerkosaan seringkali dianggap disebabkan oleh semakin banyaknya materi pornografi yang beredar serta keterbukaan seksual di media-media publik. Namun sebenarnya, walaupun para pemerkosa, sebagaimana halnya orang lain, mungkin terangsang oleh beberapa jenis pornografi, bukanlah hasrat seksual yang mendorong terjadinya pemerkosaan melainkan hasrat kemarahan dan ketakutan. Pornografi tidaklah menyebabkan pemerkosaan; melarang pornografi tidak akan menghentikan pemerkosaan. Bahkan, beberapa kajian telah menunjukkan bahwa para pemerkosa umumnya terekspos lebih sedikit pada pornografi dari laki-laki lain pada umumnya (Groth, 1979, hal. 9)." 

Wilson (1978, hal. 175) menemukan bahwa "kaum pria yang mengembangkan perilaku seksual yang menyimpang saat dewasa adalah mereka yang secara relatif kurang mendapatkan pengalaman berkaitan dengan pornografi pada masa remajanya." Dia mengajukan pandangan bahwa pornografi bukan hanya berpotensi, tapi memang membantu mencegah masalah kejahatan seksual (hal 176). Wilson mengklaim bahwa keterpaparan terhadap SEM dapat memberikan keuntungan terapatis dan, di antara pasangan, dapat membantu komunikasi yang lebih lancar dan keterbukaan dalam membahas masalah-masalah seksual serta memberiakn pendidikan seksual. Ekspose terhadap pornografi juga membantu menyediakan anxiety and inhibition-relievin g function. 39 persen terhukum yang dikaji oleh Walker (1970) sepakat bahwa pornografi 'menyediakan . pengaman untuk kecenderungan- kecenderungan antisocial." 

Penjelasan-penjelas an lain telah ditawarkan untuk menjelaskan penurunan dan kecilnya angka kejahatan seksual di Jepang. Abramson dan Hayashi (1984) mengatakan bahwa kecilnya angka pemerkosaan di Jepang disebabkan sebagian karena pengendalian internal yang dianggap sebagai bagian dari karakter nasional bangsa Jepang yang ditimbulkan oleh masyarakatnya yang ketat. Kalaupun pendapat ini benar, sulit membayangkan bahwa pengendalian semacam ini jauh lebih kuat di periode 90an daripada di lingkungan konservatif pada decade 70an. Kutchinsky (1973b) memberikan kredit atas pengurangan kejahatan yang terkait dengan semakin tingginya ketersediaan SEM di Eropa dan Skandinavia kepada "kebanyakan populasi menjadi familiar dengan literatur pornografi: namun titik jenuh dengan cepat tercapai, terutama karena ketertarikan tersebut lebih dikarenakan oleh rasa ingin tahu daripada kebutuhan yang benar-benar. " Kami percaya pandangan ini adalah sebagian jawabannya. 

Faktor penyebab lain mungkin juga terlibat. Sebagai contoh, selama periode dalam kajin, 1972 hingga 1995, setara dengan pengurangan angka kejahatan seksual laki-laki adalah peningkatan kesediaan perempuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Sebagai tambahan dari perempuan sebagai partner seksual yang didapatkan melalui prostitusi dan juga melalui outlet seks komersial, para 'gadis sebelah rumah' saat ini lebih siap untuk menerima ajakan melakukan aktifitas seksual di luar nikah. Sesuatu yang dua atau tiga dekade lalu tidak begitu umum terjadi (Uchiyama, 1996). 

Banyak percobaan laboratorium dilakukan untuk membuktikan pengaruh sosial pornografi yang negatif. Berbagai hasil dari percobaan-percobaan yang berbeda-beda diharapkan mampu memperlihatkan bahwa eksposur terhadap pornografi, terutama yang memiliki muatan kekerasan, dapat menyebabkan degradasi martabat kaum perempuan, pelecehan pemerkosaan dan meningkatnya agresi dan pembiaran tindakan kekerasan atas perempuan (untuk lebih jelas lihat Malamuth & Donnerstein, 1984, dan Zillman & Bryant, 1989). 

Percobaan di laboratorium sulit untuk dibandingkan dengan situasi di dunia nyata dan mungkin juga tidak relevan. Umumnya percobaan laboratorium memaparkan mahasiswa-mahasiswa ke berbagai jenis pornografi dengan durasi yang berbeda-beda dan mencoba untuk mengukur tindak-tanduk mereka setelah itu. Hal lain yang juga penting adalah bahwa dalam percobaan semacam itu situasi yang dialami para subjek percobaan seringkali dimanipulasi sehingga para mahasiswa tersebut terjebak dalam situasi-stiuasi yang menyalahi rancangan awal penelitian (lihat Donnerstein, 1984, Donnerstein & Barret, 1978; Zilmann, 1984; Zillman & Bryant, 1982; 1984; Zilmann % Weaver, 1989). Studi-studi ini terus mendapatkan kritik-kritik yang serius (lihat Branningan, 1987; Brannigan & Goldenberg, 1986, 1991; Christensen, 1990; Becker & Stein, 1991) karena cacat secara metodologis dan tidak cukup layak untuk penerapan praktis. Seringkali temuan-temuan itu pun tidak konsisten. Sebagai contoh, Zillman dan Bryant (1984; 1988a, 1988b) melaporkan bahwa hasil temuan mereka menunjukkan bahwa eksposur terhadap jumlah besar pornografi mengurangi keinginan para subjek mahasiswa untuk bertindak agresif terhadap satu sama lain setelah stimulasi erotis diberikan (kemungkinan efek positif) , namun bisa menyebabkan peremehan makna pemerkosaan, mengurangi tingkat kepuasan seksual dengan partner saat itu, dan mengurangi makna 'nilai-nilai kekeluargaan' (kemungkinan efek negatif). Dan bahkan para penguji coba di area penelitian ruang kelas ini telah mengkritik bagaimana data diambil untuk digunakan dalam pengadilan (lihat Linz, Penrod &Donnerstein, 1987). Eksperimen laboratorium umumnya tidak mempertimbangkan konteks social dan factor-faktor social dan situasional lainnya. 

Hasil temuan kami tentang Jepang, dan temuan Kutchinsky tentang Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Swedia, diambil dari populasi yang besar dan beragam yang telah terekspos pada SEM selama bertahun-tahun. Materi-materi ini bisa dipilih untuk digunakan atau tidak digunakan ataupun dimodifikasi sesuai dengan selera penontonnya. Tidak ada satu orang pun (di negara-negara tersebut) yang diwajibkan untuk melihat material-material yang dia anggap menjijikkan dan di lain pihak siapa pun diperbolehkan untuk mengeksploitasi material ataupun kesempatan yang ada. Setiap orang dalam dunia nyata bisa menggunakan materi-materi tersebut secara sendirian atau dengan orang lain (missal, dengan pasangan). Dalam kehidupan nyata, orang dapat memilih untuk mengalami pornografi selama beberapa menit atau jam, satu sesi, atau selama bertahun-tahun. Di dunia nyata, individual-individu al bebas untuk memenuhi berbagai jenis hasrat seksual dalam cara-cara yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh para siswa dalam situasi dalam ruang kelas. 

Kutchinsky (1983, 1987, 1992, 1994), telah mendiskusikan keunggulan relative dari kajian laboratorium dibandingkan dengan kajian peristiwa di luar laboratiru. Pada pokoknya Kutchinsky percaya bahwa pornografi di dunia nyata, menawarkan substitusi bagi rasa frustasi bersifat seksual atau pun non seksual yang mungkin, dalam situasi lain, dapat mendorong terjadinya kejahatan sksual (Kutchinsky, 1973a, hal. 175). "Jika ketersediaan pornografi dapat mengurangi angka kejahatan seksual, hal itu disebabkan beberapa bentuk pornografi bagi beberapa orang yang berpotensial menjadi penjahat seksual, secara fungsional setara dengan kejahatan seksual yang mungkin akan dilakukan tersebut: keduanya (pornografi dan kejahatan seksual) dapat memenuhi kebutuhan orang bersangkutan. Jika para pelaku potensial ini punya pilihan, mereka akan memilih menggunakan pornografi karena lebih nyaman, tidak merugikan dan tidak bebahaya." (hal. 21). Ini juga kami anggap baru sebagian jawaban dari masalah. 
Faktor-faktor social apa lagi, selain meningkatnya pornografi, yang mungkin bisa menjelaskan turunnya angka kejahatan di Jepang? Dan jika pornografi tidak mendorong pemerkosaan ataupun kejahatan seksual lainnya, apa yang bisa mendorong terjadinya hal tersebut? Jelas sekali bahwa ini adalah pertanyaan multifaceted yang rumit. Sebagai tanggapan, kita sepakat dengan banyak pihak (misal, Brannigan. 1997; Fisher & barak, 1991, Gottfredson & hirschi, 1990) bahwa kejahatan secara umum bukanlah sekedar masalah "monyet lihat - monyet lakukan." Sebagaimana halnya dengan kejahatan lain, kejahatan seksual umumnya disebabkan karena ada kesempatan, pelakunya tidak berpikir atau sedikit berpikir dan umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kontrol diri dan sosial yang rendah. Orang-orang semacam itu seringkali dapat terindentifikasi sebelum terekspos pada SEM secara substansial. Lebih dari setengah pelanggar seks dewasa diketahui juga sebagai pelanggar seks pada masa remaja (Abel, 1985; Knopp, 1984). Sebagaimana Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan: ". salah satu penyebab tindak kejahatan yaitu kurangnya kemampuan pengendalian diri, dapat ditemukan pada 6 hingga 8 tahun pertama kehidupan, yaitu pada masa ketika sang anak berada dalam control dan pengawasan keluarga atau institusi keluarga. kebijakan yang ditujukan pada penguatan kemampuan institusi keluarga untuk sosialisasi anak-anak adalah kebijakan jangka panjang yang realistic yang berpotensial untuk mengurangi angka kejahatan secara substansial (hal. 272-373). 

Semakin tingginya tingkat persaingan dunia pendidikan dan kerja di Jepang selama dua dekade terakhir telah memaksa orang untuk memberikan lebih banyak waktu untuk prestasi di dalam sekolah, mulai dari masa pra-sekolah dan berlanjut terus hingga masa kuliah; pekerjaan rumah yang dan pelajaran tambahan di luar sekolah (jukyu) adalah hal yang biasa (Efrom, 1997). Dan ibu-ibu rumah tanga di Jepang umumnya tinggal di rumah untuk megnawasi anak mereka melalui sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dengan baik. Kami percaya bahwa ini membantu mengurangi terjadinya tindakan-tindakan anti sosial atau kriminal, serta membantu sosialisasi anak untuk menghidari perilaku kriminal sebagai orang dewasa nantinya. 

Ellis (1989) menanggap kejahatan seksual disebabkan dorongan dari dalam untuk ekspresi seksual ditambah dengan keinginan untuk memiliki dan mengendalikan. Dorongan-dorongan ini pada anak dapat dimodifikasi dengan peningkatan masa-masa bersama keluarga sejak usia dini.Selain itu juga, kami percaya, pendidikan seksual standar Jepang K-12 juga dapat membantu untuk mengurangi hal ini. Oleh karena itu, kekuatan-kekuatan social yang positif dan profaktif mungkin adalah penyebabb berkurangnya angka kejahatan yang terlihat. Faktor-faktor lain yang mungkin menyebabkan perubahan angka kejahatan seksual di Jepang atau tempat lainnya masih belum ditentukan. 

Pertanyaan lanjutan masih muncul lagi: apakah ada efek negative lain yang mungkin disebabkan pornografi selain kejahatan seksual? Kaum feminis, orang-orang religius konservatif, dan para moralis menganggap pornografi sebagai sebuah masalah bahkan walaupun sulit dibuktikan bahwa pornografi menyebabkan meningkatnya angka kejahatan seksual (lihat misalnya, Court, 1984; Osanka & Lee, 1985). Beberapa melihat pornografi sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan. "Pertanyaannya bukanlah: apakah pornografi menyebabkan kekerasan terhadap perempuan? Pornografi adalah kekerasan terhadap perempuan, kekerasan yang menebus dan mengacaukan setiap aspek dari kebudayan kita (Dworkin, 1981, sampul buku)." Dan Steinham (1983) menulis: "pornografi adalah tentang kekuasaan dan sex sebagai senjata - dalam hal yang sama kita memahami bahwa pemerkosaan adalah kekerasan, dan sama sekali bukan tentang seksualitas (hal. 38)." MacKinner (1993) bahkan berpikir bahwa pornografi tertulis sebagai membahayakan dan merendahkan perempuan. 

Memang ada sejumlah anecdotal reports dampak negative pornografi, selain kejahatan seksual. Dampak-dampak ini bermacam-macam mulai dari kekerasan domestic (lihat Sommers & Check, 1987), hingga pelecehan seksual pada anak (lihat Burgess & Hartman, 1987). Namun tidak ada bukti keras yang menunjukkan hubungan sebab akibat terhadap kejahatan-kejahatan yang demikian parah dan sangat patut disesali (Howitt & Cumberbatch, 1985). Tindakan-tindakan criminal dan anti-sosial ini, kami percaya, lebih disebabkan karena bimbingan orang tua yang buruk, pendidikan yang tidak memadai dengan buruknya kontrol diri dan social, seperti yang telah disebutkan di atas. 

Kemungkinan efek buruk pornografi adalah seperti yang diulas oleh Howitt dan Cumberbatch (1985); efek negative pornografi pada pria. Mereka mengulas laporan tentang pria yang mengalami impotensi karena 'kegelisahan akan penampilan' (performance anxiety), sebagai akibat kekhawatiran tidak mampu menandingi kaum pria yang begitu perkasa, besar dan terampil yang terlihat di pornografi (lihat MOye, 1985; Fracher & Kimmel, 1987; Tieter, 1987). Howitt dan Cumberbatch menyimpulkan bahwa factor-faktor yang menyebabkan impotensi dan performance anxiety mungkin tidak punya kaitan dengan pornografi dan masih perlu dikaji lebih lanjut. 

Kesimpulannya, kekhawatiran bahwa negara-negara yang membolehkan pornografi akan mengalami peningkatan angka kejahatan seksual karena tindakan peniruan, atau bahwa kaum remaja pada khususnya akan rentan secara negative dan reseptif terhadap apa yang ditunjukkan dalam pornografi atau bahwa masyarakat secara keseluruhan akan terpengaruh secara negative oleh pornografi, tidak terbukti betul. Jelas terlihat dari data yang kami kumpulkan dan analisa bahwa peningkatan besar materi pornografi di Jepang memiliki kaitan dengan penurunan dramatis angka kejahatan seksual dan utamanya penurunan angka remaja yang terlibat dalam kejahatan seksual, baik sebagai pelaku atau sebagai korban. Kami juga telah menyinggung sejumlah factor-faktor yang mungkin menjadi penyebab hal ini di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar